Rizal yang menempati rumah itu seorang diri akhirnya menjadikan sebagai markas berkumpulnya kawan-kawan dari komunitas literasi.
Tak hanya sebagai basecamp, rumah yang kini bercat hijau itu menjadi saksi lahirnya diskusi-diskusi serius setengah bercanda.
“Ya dulu ngumpulnya di sini, ngobrolin apa aja. Kadang obrolannya bermutu tapi seringnya ya tidak alias bercanda-bercanda,” ungkap Rizal diikuti tawa.
Di tengah lamunannya, satu ruangan yang cukup luas berada di lantai dua dimanfaatkan Rizal untuk diisi buku-buku yang sempat terbuka di lapak baca.
Baca juga: Perpustakaan Jalanan Jakarta: Semua Orang Berhak Membaca
“Buku-bukunya sebagian punya saya, sebagian lagi punya teman-teman yang dititipkan dan didonasikan,” bebernya.
Rak panjang dari kayu sengaja dibuat sendiri kemudian dikaitkan ke dinding untu menopang beratnya buku. Lalu disusun rapi disesuaikan dengan genre.
Buku sejarah, hukum, novel, seni, botani, musik, ekonomi, hingga anak-anak yang tersusun mempercantik ruangan menjadi perpustakaan mini bernama “Oemah Aksoro”.
“Bikin perpustakaan di sini karena ngumpulnya teman-teman dulu ya di sini. Saya kasih ruang karena kebetulan saya juga tinggal sendiri dari pada nggak ada yang diajak ngobrol,” terangnya.
Untuk menarik anak-anak di lingkungan rumahnya gemar membaca dan mampir ke perpustakaannya, Rizal bersama anggota komunitas dulu sering membuat kelas kreatif.
“Kelasnya macam-macam, ada bikin origami, menggambar, sama main-main tradisional, pengajarnya dari teman-teman sendiri. Antusias banget dulu,” ujar pria yang kini berprofesi sebagai pengacara tersebut.
Baca juga: Bale Buku, Pos Kamling yang Disulap Jadi Perpustakaan Mini demi Cegah Anak Keranjingan HP
Meski anak-anak lebih tertarik dengan kelas kreatif ketimbang membaca buku, Rizal merasa senang setidaknya mereka tahu keberadaan perpustakaan desa yang dibangun dengan tumpukan-tumpukan mimpi itu.
“Yang penting dulu kelas kreatifnya itu bukan materi sekolah. Pokoknya daya kreatif anak-anak itu harus berkembang,” katanya.
Sayangnya, kelas itu hanya bertahan enam bulan. Karena pandemi Covid-19 dan terbentur kesibukan mencari uang, anggota komunitas literasi jarang mengundang anak-anak belajar lagi.
Perpustakaan pun semakin sepi dan kini telah dipindahkan Rizal ke lantai satu depan teras rumah agar pengunjung mudah mengakses.
Papan bertuliskan “Oemah Aksoro” berbahan ukiran kayu yang dipajang Rizal di depan rumahnya pun tak menarik lagi bagi anak-anak di lingkungan rumahnya.