Mimpi sederhana tapi bermakna ini lahir dari beberapa komunitas literasi di Sidoarjo yang memiliki satu visi, membangun perpustakaan untuk menebar pengetahuan.
Delapan tahun lalu, Mochammad Rizal Prasetya (31) dan pecinta literasi di Komunitas Taman Diksi, Jejak Teras, Kolase Riang, Punk Bacot dan Trisula aktif menggelar tikar membuka lapak baca di Taman Alun-Alun Sidoarjo.
“Kadang pas Car Free Day (CFD) pas Minggu tapi seringnya dari sore ke malam,” kata Rizal kepada Kompas.com, Minggu (10/8/2025).
Untuk menarik orang mampir, mereka dulu sering menyediakan secangkir teh hangat dan beberapa batang rokok linting sebagai peneman pembaca.
Rizal bilang, tahun 2017 hingga 2020, sudah jarang masyarakat yang mampir. Sekadar melirik judul buku yang mereka pajang pun sedikit.
Lembar-lembar buku itu lebih sering dibuka oleh kawan-kawan komunitasnya saja.
“Paling yang baca ya kebanyakan anak-anak sendiri,” ungkap Rizal dengan singkat sembari bernostalgia.
Tapi, pria yang akrab disapa Inyong ini juga bilang, tahun 2018 beberapa orang di luar komunitas kerap mampir ke lapak karena penasaran dengan jalan cerita novel Dilan 1990. Novel bergenre romantis yang ditulis Pidi Baiq.
Pada tahun itu, cerita percintaan remaja SMA yang berlatar di Kota Bandung ini sedang naik daun. Film yang diangkat dari cerita novel laris diminati semua kalangan usia.
“Karena orang mungkin suka visual ya jadi dulu ramai-ramainya pas ada film Dilan. Terus pada baca novelnya. Sama film Bumi Manusia,” ungkapnya.
Tapi tidak jarang juga orang-orang yang memilih membaca buku-buku “kiri” untuk bekal diskusi.
“Kalau buku-buku kiri kayak Madilog gitu juga ada yang baca, malah ngajak diskusi. Kalau novel ya paling minta rekomendasi,” tuturnya.
Setelahnya, arus minat baca buku masyarakat dari landai kian menurun. Buku-buku yang sempat berjejer di atas tikar banner menjadi bertumpuk di rumah Rizal.
Rumah itu berlokasi di Desa Cemengkapuk, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Tak jauh dari pusat kota.
Rizal yang menempati rumah itu seorang diri akhirnya menjadikan sebagai markas berkumpulnya kawan-kawan dari komunitas literasi.
Tak hanya sebagai basecamp, rumah yang kini bercat hijau itu menjadi saksi lahirnya diskusi-diskusi serius setengah bercanda.
“Ya dulu ngumpulnya di sini, ngobrolin apa aja. Kadang obrolannya bermutu tapi seringnya ya tidak alias bercanda-bercanda,” ungkap Rizal diikuti tawa.
Di tengah lamunannya, satu ruangan yang cukup luas berada di lantai dua dimanfaatkan Rizal untuk diisi buku-buku yang sempat terbuka di lapak baca.
“Buku-bukunya sebagian punya saya, sebagian lagi punya teman-teman yang dititipkan dan didonasikan,” bebernya.
Rak panjang dari kayu sengaja dibuat sendiri kemudian dikaitkan ke dinding untu menopang beratnya buku. Lalu disusun rapi disesuaikan dengan genre.
Buku sejarah, hukum, novel, seni, botani, musik, ekonomi, hingga anak-anak yang tersusun mempercantik ruangan menjadi perpustakaan mini bernama “Oemah Aksoro”.
“Bikin perpustakaan di sini karena ngumpulnya teman-teman dulu ya di sini. Saya kasih ruang karena kebetulan saya juga tinggal sendiri dari pada nggak ada yang diajak ngobrol,” terangnya.
Untuk menarik anak-anak di lingkungan rumahnya gemar membaca dan mampir ke perpustakaannya, Rizal bersama anggota komunitas dulu sering membuat kelas kreatif.
“Kelasnya macam-macam, ada bikin origami, menggambar, sama main-main tradisional, pengajarnya dari teman-teman sendiri. Antusias banget dulu,” ujar pria yang kini berprofesi sebagai pengacara tersebut.
Meski anak-anak lebih tertarik dengan kelas kreatif ketimbang membaca buku, Rizal merasa senang setidaknya mereka tahu keberadaan perpustakaan desa yang dibangun dengan tumpukan-tumpukan mimpi itu.
“Yang penting dulu kelas kreatifnya itu bukan materi sekolah. Pokoknya daya kreatif anak-anak itu harus berkembang,” katanya.
Sayangnya, kelas itu hanya bertahan enam bulan. Karena pandemi Covid-19 dan terbentur kesibukan mencari uang, anggota komunitas literasi jarang mengundang anak-anak belajar lagi.
Perpustakaan pun semakin sepi dan kini telah dipindahkan Rizal ke lantai satu depan teras rumah agar pengunjung mudah mengakses.
Papan bertuliskan “Oemah Aksoro” berbahan ukiran kayu yang dipajang Rizal di depan rumahnya pun tak menarik lagi bagi anak-anak di lingkungan rumahnya.
Buku-bukunya nyaris tak tersentuh selama berbulan-bulan. Sarang laba-laba menempel di atas dan bawah rak buku anak-anak.
Rizal bilang, buku-buku itu boleh dipinjam oleh siapa saja yang ingin membaca dan membutuhkannya.
Maksimal satu minggu, boleh lebih asal konfirmasi dan donasi sebesar Rp 5.000 untuk biaya perawatan.
“Yang mau nitip buku atau donasi buku di sini juga boleh. Daripada nganggur di rumah bisa taruh di sini barangkali ada yang butuh,” tuturnya.
Rizal mengatakan, perpustakaan mini ini meski sepi namun dia ingin tetap mempertahankannya karena sudah menjadi mimpinya hingga hari tua nanti.
“Punya perpustakaan itu impian saya dari dulu. Saya ingin pas tua nanti tetap sama buku. Saya juga nggak cari uang dari perpustakaan ini kok,” pungkasnya.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/08/11/053343978/berawal-dari-lapak-baca-lahir-perpustakaan-desa