Ibu Rizal, Puri asal Sedati, Sidoarjo, mengaku senang dengan meningkatnya kembali tren bermain layang-layang seperti saat ini.
Ia menuturkan bahwa menemukan lahan kosong di tengah kota metropolitan bak menemukan emas yang sangat berharga di antara pasir hitam.
“Sekarang itu menemukan lahan kosong seperti ini seperti menemukan emas berharga di antara pasir hitam, padahal hanya untuk bermain layangan,” ucapnya saat ditemui Kompas.com, Kamis (17/7/2025).
Ditambah lagi di tengah era kemunculan teknologi dan melesatnya penggunaan gadget, bermain layang-layang menjadi salah satu sarana untuk menyingkirkan distraksi dan kecanduan gadget, serta lebih mendekatkan diri dengan alam.
“Apalagi saya kan orang Sidoarjo, keluarga juga sama, enggak punya desa. Kalau ada yang banyak main layang-layang seperti ini kan juga bisa sesekali membuat Rizal tidak terlalu kecanduan gadget, biar lebih dekat sama alam juga,” ujarnya.
Baca juga: Marak Layangan di Yogyakarta, 1 Pengendara Luka akibat Senar Gelasan
Genta (14) mengungkapkan, pertama kali mengetahui tren bermain layangan itu dari media sosial.
“Ya tahunya dari medsos (media sosial), terus diajakin sama teman-teman main di sini,” terang Genta.
Sudah tiga hari terakhir setiap sekitar pukul 16.00 WIB, dia bersama teman-temannya menjajakan kaki di tengah hamparan rumput sambil berlarian ke sana-sini mempertahankan posisi layangannya.
Ia hanya perlu mengocek harga Rp 2.000 per layangan dan Rp 13.000 untuk benang gelasan.
“Kalau ini aku belinya Rp 2.000 an, ya nanti kalau layangannya rusak atau benang putus tinggal beli lagi atau giliran sama teman,” ungkapnya.
Dirinya mengaku senang karena akhirnya bisa bermain dengan leluasa, setelah selama ini hanya bisa menerbangkan di sekitar area rumah.
“Sebenarnya kalau main hampir setiap hari di sekitar rumah, tapi karena tempatnya enggak begitu luas cuma gang kecil gitu aja, jadi layangannya gampang jatuh,” ujarnya.
Tak hanya anak-anak atau remaja saja, tetapi juga banyak orang dewasa yang ikut berpartisipasi memainkan seutas benang dan bambu itu.
Salah satunya Andrea (33), warga Tambaksawah, Sidoarjo. Dia mengaku baru saja pulang bekerja dan memutuskan untuk bermain layang-layang sebagai sarana melepas penat.
“Ini saya habis pulang kerja. Capek, Mbak. Setelah kerja seharian ingin refreshing seengaknya satu dua jam cukup,” kata Andrea yang masih memakai seragam kantor.
Menurutnya, keseruan bermain layangan terletak pada saat antar pemain saling bertanding mempertahankan layangannya agar tidak terjatuh atau benang putus.
“Nanti biasanya kalau ada yang jatuh kita berebut mengambil. Biasanya layangan yang besar-besar itu makin diincar. Kalau dapat nanti dikoleksi saja,” ucapnya.
Meskipun begitu, satu hal yang membuatnya kesal karena masih banyaknya masyarakat bermain layangan dengan sembarang sehingga seringkali rantai motornya terlilit benang layangan.
“Pernah tiba-tiba helm saya kesangkut benang layangan, paling sering rantai motor ini kelilit benang, jadinya susah gerak dan harus diudari (dilepaskan), kan bikin lebih mudah rusak,” terangnya.
Ia berharap fenomena bermain layangan ini tidak hanya menjadi tren sekejap, tapi ada tindak lanjut dari pemerintah setempat.
“Ya bisa lebih dikembangkan lagi lah, diteruskan, jangan hanya berhenti di musim kemarau saja,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang