SURABAYA, KOMPAS.com - Nama layang-layang memang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia.
Permainan tradisional berupa lembaran tipis beragka bambu yang memanfaatkan kekuatan angin untuk bisa diterbangkan ke udara itu memang menjadi salah satu permainan yang ikonik saat musim kemarau.
Di tengah cuaca yang cerah dan hembusan angin yang kencang menjadi momen yang menyenangkan untuk melepas penat dengan bermain di tanah lapang.
Seperti saat ini, tren bermain layangan kembali ramai digemari masyarakat Surabaya dan sekitarnya mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua.
Setiap sekitar pukul 15.00 WIB hingga 17.00 WIB masyarakat Surabaya, Sidoarjo, dan sekitarnya berkumpul di sekitar area tanah lapang di Pondok Candra, Kecamatan Waru, Sidoarjo.
Di antara kerumunan para pemain layangan itu, tampak seorang pria bertubuh jangkung yang sedang asyik menarik-ulur seutas benang tipis sembari tersenyum lebar saat menerbangkan layangannya di langit.
Baca juga: Musim Layangan di Surabaya, Pedagang Untung Berkali-kali Lipat
Tapi siapa sangka pria tersebut tidak hanya hobi bermain layangan sejak kecil, tetapi juga terinspirasi untuk membuka bisnis kecil-kecilannya.
Dengan bersandarkan bagasi mobilnya, Yuddan Fijar (32) menjejerkan aneka ragam layang-layang dengan harga dibanderol mulai dari Rp 2.000 hingga Rp 6.000.
“Kalau yang biasa itu namanya layangan sayur Rp 5.000 dapat tiga, layangan sukhoi standar itu Rp 2.000, kalau layangan militan Rp 3.500. kalau ini layangan turnamennya Rp 5.000 atau ada juga yang Rp 6.000 juga,” ujar Yuddan saat ditemui Kompas.com, Kamis (17/7/2025).
Sudah sekitar tiga minggu hampir setiap hari antara pukul 15.30 sampai 16.30 WIB, dia bersama rekannya mengunjungi tanah lapang itu dan berhasil menjual kurang lebih 1.000 layangan per harinya.
“Bisa untung lebih dari 100 persen, Mbak, berkali-kali lipat. Biasanya kalau di luar musim layangan paling sehari cuma sekitar 10 sampai 15 layangan yang laku, kalau sekarang sehari saja 1.000 layangan kita bawa bisa habis,” kata Yuddan.
Baca juga: 2 Motor Tabrakan di Kulon Progo Gegara Tali Layangan, 2 Orang Luka
Ia mengaku, bisnis layangan itu berawal dari hobinya sejak anak-anak yang suka bermain layang-layang.
“Saya kan dari kecil karena memang suka layangan, ya terus belajar membuat layangan pada tahun lalu,” tuturnya.
Di bulan yang sama pada tahun lalu, Yuddan melihat banyaknya warga sekitar rumahnya di Gedangan, Sidoarjo yang bermain layang-layang.
Dia pun memutuskan untuk mengambil peluang tersebut dengan membeli beberapa layangan dari salah seorang pengrajin.
Tak disangka, banyak warga sekitar terutamanya anak-anak yang berminat membeli dagangannya.
“Nah, akhirnya makin lama makin banyak keterusan sampai tahun ini, tapi waktu itu saya jualannya masih buka lapak kecil gitu di rumah,” ujarnya.
Baca juga: Marak Layangan di Yogyakarta, 1 Pengendara Luka akibat Senar Gelasan
Namun, Yuddan harus menghadapi tantangan saat musim penghujan tiba, dimana stok layangannya menumpuk, sedangkan pembeli menurun.
“Terus kan saya kerjanya di Surabaya, suatu hari saya iseng-iseng pulangnya lewat MERR. Syaa lihat ada sekumpulan orang-orang main di sini,” ucapnya.
Yuddan pun mencoba untuk bermain bersama para pemain sekitar. Lalu, dia mulai menawarkan dagangan layangannya juga dan hasilnya laris manis.
Seakan pintu rezeki tidak berhenti terbuka, Yuddan kembali mendapatkan kesempatan untuk mengenal klub layangan dari Surabaya dan Sidoarjo.
Dari situ, ia mengetahui bahwa biasanya pro player layangan tidak pernah berhenti latihan, meski saat musim hujan sehingga biasanya mereka membutuhkan layangan yang berkualitas tinggi.
“Akhirnya saya awalnya coba membuat layangan yang kualitasnya lebih bagus, saya jualkan ke pro player itu,” ucapnya.
Baca juga: Kejar Layangan Putus, Bocah 14 Tahun Tewas Tenggelam di Tambak Garam
Untuk jenis layangan turnamen biasanya dia menjualkan dengan harga Rp 15.000 per biji.
“Jadi kalau pro player itu mainnya setiap hari karena mereka kalau sehari saja enggak main kayak stres gitu loh. Tiap tim atau klub itu biasanya ada sekitar 10 sampai 15 orang,” terangnya.
Ia menjelaskan kualitas layangan dapat diukur dari kualitas rancangan dan bambunya.
Ada dua jenis bambu yang umumnya digunakan untuk turnamen, yakni bbambu apus dan bambu petung yang keduanya diukur dari tingkat kandungan airnya.
Semakin rendah kandungan air di dalam suatu bambu, maka kualitasnya semakin bagus karena layangan dapat semakin mudah terbang tinggi.
“Biasanya yang lebih mahal itu bambu petung karena kandungan airnya sangat sedikit,” ungkapnya.
Baca juga: Main Layangan di Pontianak Bisa Didenda Rp 500.000 hingga Blokir KTP
Sebelum memulai merakit layang-layang, kerangka bambu harus terlebih dahulu disimpan di tempat yang kering kurang lebih tiga hingga lima tahun.
“Harganya bisa tinggi karena layangan itu bambunya dirawat, di treatment sampai benar-benar kering,” jelasnya.
Selain itu, ukuran layangan juga menentukan harga dan kualitas layangan.
“Kalau layangan sukhoi yang biasa digunakan di turnamen itu ada yang nyebut layangan 56, layangan 57. Penyebutan itu untuk lebar sayap dan panjang bambunya yang digunakan, ada yang 57 sentimeter, 56 sentimeter,” paparnya.
Baca juga: Amankan Jalan dari Kawat Layangan, Seorang Juru Parkir Tewas Tersetrum
Menurutnya, fenomena main layangan tidak hanya menjadi tren di Surabaya, tetapi juga hampir di seluruh wilayah Indonesia
“Kayak di Probolinggo, di Pasuruan, di Malang, terus di Bondowoso, Situbondo, seluruh Probolinggo itu juga musim layangan sekarang,” ucapnya.
Yuddan juga mengaku bersyukur dengan adanya media sosial.
Karena menjadikan masyarakat sebagai antusias dalam menumbuhkan kembali kegemaran bermain layangan yang dapat menjadi ladang cuan baginya.
“Ya Alhamdulillah dari fenomena ini jadinya banyak banget masyarakat yang antusias dalam laam bermain layangan, jadi ladang rezeki tambahan juga buat saya,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang