MALANG, KOMPAS.com – Akhir-akhir ini fenomena sound horeg menjadi perdebatan panas di tengah masyarakat.
Lantaran beberapa pihak masyarakat kontra karena merasa terganggu dengan adanya sound horeg tersebut, dan beberapa pihak lain pro dengan adanya sound horeg itu.
Perdebatan itu semakin meruncing, seiring adanya fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur baru-baru ini, pada pagelaran sound horeg.
Untuk diketahui, Sound Horeg merupakan istilah penamaan pada aktifitas parade sound system yang digelar di tengah perkampungan warga, dengan suara yang terlampau keras, sehingga menyebabkan benda-benda di sekitarnya bergerak (horeg).
Baca juga: Karnaval Ricuh hingga Terjadi Pemukulan, Polresta Malang Kota: Sound Horeg Dilarang Keras
Antropolog Universitas Brawijaya, Nindyo Budi Kumoro mengatakan munculnya budaya sound horeg di kalangan masyarakat Jawa Timur ini, berkaitan dengan beberapa faktor tipologi masyarakat Jawa Timur, khususnya masyarakat Jawa Timur kawasan selatan.
Faktor pertama, menurut Nidyo karena masyarakat Jawa Timur kawasan selatan lebih toleran atau terbiasa dengan suara keras.
“Indikatornya adalah masyarakat di sana cenderung suka ketika menggelar hajatan menyewa sound, lalu dinyalakan dengan suara keras," ujar Nindyo, Senin (14/7/2025).
"Kemudian pada pagi hari, mereka juga suka ditemani dengan suara musik, khususnya dangdut untuk menggugah semangat,” kata dia.
Baca juga: Usai Keluarkan Fatwa Haram Sound Horeg, MUI Jatim Desak Pemerintah Terbitkan Aturan Tegas
Faktor kedua berkaitan dengan berbedaan budaya kesenian masyarakat jawa, di mana seperti masa lampau, kesenian rakyat yang mayoritas petani, berbeda dengan budaya kesenian priyayi di keraton.
Kesenian rakyat petani lebih ekspresif dan keras dibanding kesenian priyayi.
Misalnya pada masa lampau ada kesenian jatilan, bantengan, dan lain sebagainya. Berbeda dengan seni tari di keraton yang cenderung lebih lembut.
Maka wajar, kalau muncul adanya budaya baru yang juga keras seperti sound horeg saat ini.
"Kemudian, pihak yang kontra mayoritas masyarakat urban yang mayoritas dari kalangan priyayi,” bebernya.
Baca juga: Bupati Lumajang: Pengguna Sound Horeg Jangan Sampai Mengganggu Lingkungan
Faktor ketiga, berkaitan dengan tingkat perekonomian masyarakat yang lebih banyak menengah ke bawah.
Sehingga mempengaruhi tingkat sumber daya, dan cenderung antusias dengan hiburan dengan biaya murah.
“faktor lain banyak, yang pada intinya faktor-faktor ini saling mendukung dan membentuk produk budaya baru, yakni sound horeg ini,” tuturnya.
Namun, sebagai produk budaya, menurut pandangan dosen Prodi Antropologi Universitas Brawijaya itu menilai produk budaya seperti sound horeg itu tidak akan lestari secara subur. Sebab menimbulkan pro dan kontra.
“Produk budaya akan lestari apabila tingkat dukungannya lebih banyak dibanding tingkat kontranya,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang