Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyebab Munculnya Sound Horeg, Antropolog: Masyarakat Jatim Cenderung Suka Musik Bersuara Keras

Kompas.com, 14 Juli 2025, 18:54 WIB
Imron Hakiki,
Bilal Ramadhan

Tim Redaksi

MALANG, KOMPAS.com – Akhir-akhir ini fenomena sound horeg menjadi perdebatan panas di tengah masyarakat.

Lantaran beberapa pihak masyarakat kontra karena merasa terganggu dengan adanya sound horeg tersebut, dan beberapa pihak lain pro dengan adanya sound horeg itu.

Perdebatan itu semakin meruncing, seiring adanya fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur baru-baru ini, pada pagelaran sound horeg.

Untuk diketahui, Sound Horeg merupakan istilah penamaan pada aktifitas parade sound system yang digelar di tengah perkampungan warga, dengan suara yang terlampau keras, sehingga menyebabkan benda-benda di sekitarnya bergerak (horeg).

Baca juga: Karnaval Ricuh hingga Terjadi Pemukulan, Polresta Malang Kota: Sound Horeg Dilarang Keras

Antropolog Universitas Brawijaya, Nindyo Budi Kumoro mengatakan munculnya budaya sound horeg di kalangan masyarakat Jawa Timur ini, berkaitan dengan beberapa faktor tipologi masyarakat Jawa Timur, khususnya masyarakat Jawa Timur kawasan selatan.

Faktor pertama, menurut Nidyo karena masyarakat Jawa Timur kawasan selatan lebih toleran atau terbiasa dengan suara keras.

“Indikatornya adalah masyarakat di sana cenderung suka ketika menggelar hajatan menyewa sound, lalu dinyalakan dengan suara keras," ujar Nindyo, Senin (14/7/2025).

"Kemudian pada pagi hari, mereka juga suka ditemani dengan suara musik, khususnya dangdut untuk menggugah semangat,” kata dia.

Baca juga: Usai Keluarkan Fatwa Haram Sound Horeg, MUI Jatim Desak Pemerintah Terbitkan Aturan Tegas

Faktor kedua berkaitan dengan berbedaan budaya kesenian masyarakat jawa, di mana seperti masa lampau, kesenian rakyat yang mayoritas petani, berbeda dengan budaya kesenian priyayi di keraton.

Kesenian rakyat petani lebih ekspresif dan keras dibanding kesenian priyayi.

Misalnya pada masa lampau ada kesenian jatilan, bantengan, dan lain sebagainya. Berbeda dengan seni tari di keraton yang cenderung lebih lembut.

Maka wajar, kalau muncul adanya budaya baru yang juga keras seperti sound horeg saat ini.

"Kemudian, pihak yang kontra mayoritas masyarakat urban yang mayoritas dari kalangan priyayi,” bebernya.

Baca juga: Bupati Lumajang: Pengguna Sound Horeg Jangan Sampai Mengganggu Lingkungan

Faktor ketiga, berkaitan dengan tingkat perekonomian masyarakat yang lebih banyak menengah ke bawah.

Sehingga mempengaruhi tingkat sumber daya, dan cenderung antusias dengan hiburan dengan biaya murah.

“faktor lain banyak, yang pada intinya faktor-faktor ini saling mendukung dan membentuk produk budaya baru, yakni sound horeg ini,” tuturnya.

Namun, sebagai produk budaya, menurut pandangan dosen Prodi Antropologi Universitas Brawijaya itu menilai produk budaya seperti sound horeg itu tidak akan lestari secara subur. Sebab menimbulkan pro dan kontra.

“Produk budaya akan lestari apabila tingkat dukungannya lebih banyak dibanding tingkat kontranya,” pungkasnya.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Surabaya
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Surabaya
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Surabaya
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Surabaya
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Surabaya
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
Surabaya
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Surabaya
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Surabaya
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
Surabaya
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Surabaya
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Surabaya
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Surabaya
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
Surabaya
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
Surabaya
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau