Diberitakan sebelumnya, Tumini dan ibunya menjadi perbincangan warganet karena diduga menjadikan ponten umum sebagai tempat tinggal.
Tumini menceritakan, bahwa ia hanya meneruskan pekerjaan suaminya yang sudah dilakoni sejak 2010 karena diminta oleh Jasa Tirta.
“Jasa Tirta yang nyuruh ngelola tempat ini ke suami. Karena sudah almarhum tahun 2013, saya yang meneruskan,” kata Tumini kepada Kompas.com, Rabu (2/7/2025).
Baca juga: KA Ambarawa Ekspres Tabrakan dengan Forklif di Surabaya, Lokomotif Rusak
Sebelum mengelola ponten, suami Tumini bekerja sebagai hansip kecamatan dan mengenal sejumlah pengurus kelurahan sehingga berujung dia diminta menjaga ponten. Sementara Tumini menjaga parkiran becak.
“Dulu ada 400 becak yang bisa parkir ini. Terus sejak era Bu Risma (Walikota Surabaya 2010-2020) diubah jadi taman,” ungkapnya.
Pihak Jasa Tirta resah, karena warga kerap buang air dan kotoran lain ke Sungai Jagir. Sebab air sungai ini akan dikelola menjadi air bersih. Sehingga dibangun lah ponten umum.
Karena menjadikan ponten umum sebagai ladang pekerjaan, Tumini akhirnya membayar sewa ke Jasa Tirta sekitar Rp1 juta per tahun.
“Sebenarnya ya bahasanya bukan sewa, seperti uang rokok gitu karena tidak ditargetkan berapa gitu. Karena buat sandang pangan, ya gimana ya,” ujarnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang