SURABAYA, KOMPAS.com - Rujak uleg merupakan hidangan tradisional yang tidak asing lagi di telinga masyarakat Surabaya.
Meskipun varian ini lebih dikenal dengan sebutan rujak cingur, sebenarnya keduanya cukup berbeda.
Rujak uleg adalah nama umum untuk rujak yang bumbunya diuleg, sedangkan rujak cingur menambahkan irisan moncong sapi (cingur) sebagai bahan utama selain buah-buahan dan sayuran.
Baca juga: Festival Rujak Uleg Surabaya Digelar di THR, Ada 3.300 Porsi untuk Warga
Menurut Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari, rujak uleg merupakan makanan hasil kombinasi beberapa etnis dan budaya.
Hal itu terlihat dari aneka sayuran matang atau disebut janganan, yakni budaya masyarakat pedalaman agraris, buah-buahan segar yang berasal dari tradisi masyarakat Jawa, serta petis udang dari tradisi pesisir.
“Kalau di Surabaya biasanya saat beli rujak akan ditawari mau yang ‘matengan’ atau ‘mentahan’, kita bisa pilih. Kalau matengan hanya berisi sayur, tapi kalau mentahan baru campur dengan bahan lain,” jelas Ikhsan.
Baca juga: Pemkot Surabaya Minta Maaf kepada Warga yang Tak Bisa Masuk Festival Rujak Uleg 2023
Ia menuturkan, di dalam naskah-naskah lama disebutkan istilah “rorojak” (atau sekarang dikenal rujak) yaitu buah-buahan yang diberikan bumbu pedas.
Sementara, aneka sayuran di dalam naskah lama disebut sebagai “janganan” yang berarti sayuran matang, sedangkan sayuran yang mentah disebut “lawar”.
Maka, rujak uleg adalah kombinasi dari sayuran matang, buah-buahan segar, petis, dan bumbu kacang yang dicampur menjadi satu.
“Nah, dari situ ada tetangga yang mengolahnya menjadi beragam hidangan, misal krawu yang terkenal di Gresik, rujak cingur yang terkenal di Surabaya,” ujarnya.
Oleh karenanya, rujak uleg dapat dikatakan sebagai cerminan Kota Surabaya yang menjadi "melting pot" atau tempat bersatunya bermacam-macam suku, etnis, dan budaya masyarakat Jawa Timur dan sekitarnya.