Sementara itu, tidak ada ciri khusus untuk mengenali pencopet karena biasanya mereka berlagak layaknya penumpang biasa.
“Biasanya sewaktu korban itu tidur atau lengah, pencopet itu mulai beraksi. Makanya harus selalu diperhatikan barang-barang yang dibawa,” tuturnya.
Selain itu, Mulyana harus menghadapi preman jalanan yang berusaha memalak, bahkan mengancam menggembosi bannya.
“Waktu itu memang ada pengalihan arus ke jalan alternatif yang mana saya kurang familiar sama daerah situ. Sewaktu di dekat lampu merah, tiba-tiba ada datang segerombolan seperti anak-anak punk, premanlah mereka minta uang. Sampai gedor-gedor pintu, tapi enggak saya bukakan, bamper depan dipukul-pukul, bahkan mereka teriak mengancam ban busnya bakal digembosi kalau enggak dikasih (uang),” tutur Mulyana.
Namun, Mulyana berusaha setenang mungkin untuk mencari solusi agar tidak membuat penumpang panik.
Dia beberapa kali membunyikan bel hingga datang dua orang satpol PP yang sedang berjaga dan beberapa pengendara yang melintas untuk membubarkan para preman.
“Begitu mereka lihat ada orang berseragam, langsung bubar. Sebenarnya saya sempat deg-degan juga takut nantinya mengganggu kenyamanan keselamatan penumpang,” ucapnya.
Baca juga: Terhenti di Kampus, Melaju di Jalan Raya: Cerita Hairudin yang Kini Setia di Kursi Sopir
Meskipun begitu, peristiwa tersebut tidak menghalanginya untuk tetap menjalani pekerjaan sebagai sopir bus.
Tiap harinya, Mulyana menyiapkan bus saat subuh dan mulai berkendara pada pukul 05.00 WIB.
Malang-melintang ratusan kilometer menyusuri jalanan menjadi pilihan satu-satunya yang dapat dia lakukan untuk mengais rezeki demi keluarga.
“Saya juga sudah enggak muda lagi, saya masih bisa kerja saja Alhamdulillah banget, disyukuri saja sih,” kata Mulyana.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang