KOMPAS.com - Bagi banyak perantau, Lebaran merupakan momen yang paling berat untuk dijalani ketika jauh dari keluarga.
Hal ini juga dirasakan oleh Trias Rayu Trissetia, seorang perempuan asal Kota Malang yang kini tinggal di Jerman.
Tahun 2025 menjadi tahun ketiganya merayakan Hari Raya Idul Fitri di negeri orang, dan setiap tahunnya membawa cerita serta emosi yang berbeda.
Pada tahun pertama merayakan Lebaran di Jerman, Trias merasakan kesepian yang mendalam. "Aku merasa sangat sedih karena sendiri, nggak ngapa-ngapain, dan belum kenal siapa-siapa di sini," kenangnya kepada Kompas.com pada Senin (31/3/2025) malam.
Baca juga: Pemkot Prediksi 1 Juta Wisatawan Datang ke Bandung Saat Libur Lebaran
Tidak ada suara takbir menggema, tidak ada keluarga yang menyambut pagi dengan senyum hangat, dan tidak ada agenda khas yang biasa dijalani bersama orang-orang tercinta di Indonesia.
Namun, situasi berubah di tahun kedua dan ketiganya.
Trias mulai berkenalan dengan komunitas orang Indonesia di Jerman, yang membuat perayaan Lebarannya tidak lagi terasa sepi.
"Lebaran tahun kedua sangat menyenangkan karena aku bisa sholat Id bareng-bareng sama orang Indonesia," ujarnya dengan penuh antusias.
Komunitas ini bahkan menyewa ruangan khusus untuk menggelar sholat Idul Fitri bersama, serta mengadakan bazar makanan khas Indonesia dan pertunjukan budaya.
Baca juga: Sejumlah Warga di Kota Jambi Tidak Bisa Merayakan Lebaran Akibat Rumah Kebanjiran
"Ada opor, kare ayam, lontong sayur dan makanan yang benar-benar bikin kangen rumah. Rasanya seperti pulang ke kampung halaman meskipun masih di negeri orang. Mereka jadi keluarga keduaku di sini," imbuhnya.
Salah satu tantangan terbesar bagi perantau adalah menjaga komunikasi dengan keluarga di Indonesia, terutama saat momen penting seperti Lebaran.
Trias mengungkapkan bahwa perbedaan waktu antara Jerman dan Indonesia tidak menjadi masalah besar. "Di sini jam 6 pagi, di Indonesia jam 12 siang. Jadi, komunikasi tetap lancar. Kami bisa video call kapan saja, cerita-cerita, bahkan berbagi momen Lebaran meskipun dari jauh," katanya.
Teknologi menjadi penyelamat di tengah jarak ribuan kilometer.
Meskipun tidak bisa bersalaman langsung, Trias tetap merasakan kedekatan dengan keluarganya melalui layar ponselnya.
Meskipun kini ia memiliki lingkaran pertemanan yang lebih luas, Trias merasakan perbedaan yang mencolok antara Lebaran di Jerman dan di Indonesia.
Baca juga: Pawai Takbir Keliling di Banda Aceh Dilombakan, Sang Juara Raih Rp 13 Juta
"Di sini Lebaran lebih sederhana. Nggak ada suara takbir berkumandang dari masjid-masjid, nggak ada keramaian di jalan, nggak ada momen heboh beli baju baru atau bikin kue-kue Lebaran seperti di Indonesia. Rasanya lebih sepi," ujarnya.
Kini, bagi Trias, Lebaran di Jerman bukan lagi tentang kesepian, melainkan tentang menemukan keluarga baru dan membangun kebahagiaan dari hal-hal sederhana. "Meskipun jauh dari rumah, aku tetap merasa punya keluarga di sini. Kami sama-sama orang perantauan, jadi saling menguatkan dan berbagi kebahagiaan. Lebaran tetap terasa spesial, meskipun tidak seperti di Indonesia," pungkasnya.
Jauh dari tanah air memang tidak mudah, tetapi dengan hati yang terbuka dan komunitas yang solid, kebersamaan dan kebahagiaan tetap dapat ditemukan di mana pun kita berada.
Sebab, sejatinya, Lebaran bukan hanya soal tempat, tetapi tentang dengan siapa kita merayakannya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang