BANYUWANGI, KOMPAS.com - Sebuah rumah bernuansa ungu berdiri menyendiri dikelilingi lahan kosong yang luas tanpa penerangan jalan di Lingkungan Klucing, Kelurahan Giri, Kecamatan Giri, Banyuwangi, Jawa Timur.
Meski tampak remang dari luar, saat masuk ke dalam, rumah sederhana itu cukup nyaman dengan pencahayaan lampu yang terang.
Di dalam rumah itu dihuni seorang ibu bernama Tri Handayani (37) dan dua anak perempuannya.
Baca juga: Epilepsi Sering Disangka Kesurupan, Kenali Penyebab dan Pemicunya
Anak pertama bernama Aishiva Azzalfa Ufaira (11) adalah penyintas epilepsi yang kini duduk di kelas empat Madrasah Ibtidaiyah (MI) setempat.
Berbincang dengan Tri cukup menenangkan. Tutur bahasanya halus, senyumnya tak luntur.
Sembari sesekali membetulkan hijab panjangnya, dia menceritakan kisah hidupnya berdamai dengan keadaan yang diakuinya cukup sulit.
“Sejak hamil, anak saya cukup pasif, jika dibandingkan dengan adiknya. Tapi awal terjadi kejang saat anak saya usia 5 bulan, kemungkinan karena salah pijat,” kata Tri mengawali ceritanya, Minggu (9/3/2025).
Baca juga: Penyandang Epilepsi ditemukan Tewas di Sumur, Diduga Terjatuh Saat Menimba
Karena keterbatasan pengetahuan, dia bertanya ke banyak orang untuk tindakan yang harus dilakukan. Dia disarankan untuk rutin membawa anaknya ke tukang pijat karena anaknya sawan.
Demi kesembuhan putrinya, Tri membawa anaknya ke berbagai tukang pijat. Meski intensitas kejangnya berkurang, namun masih terjadi.
Dia yang pasrah, akhirnya mendatangi sebuah praktik bidan untuk bertanya.
“Saat anak saya TK, saya ke bidan. Disarankan untuk ke dokter anak. Dari dokter anak diminta ke dokter saraf,” tuturnya.
Sesampainya di praktik dokter saraf, dia mendapatkan saran untuk EEG (elektroensefalogram) atau pemeriksaan medis yang mendeteksi aktivitas listrik otak.
Mengetahui besaran biaya yang harus dikeluarkan, sementara dia tak memiliki cukup uang, Tri memilih untuk menunda pemeriksaan tersebut dan meminta untuk terapi obat.
Ilustrasi epilepsiTindakan tersebut cukup sering terjadi, mulai dari dipukul kepala hingga memelintir tangan hingga tulang jari bergeser.
“Dia stres, kambuh. Kejang di kelas. Matanya merah dikira kerasukan. Teman-temannya semua takut. Epilepsi kambuh memang kalau anaknya stres, panik, atau takut,” jelas Bunda Asyifa.
Karena bullying yang diterima, anaknya semakin sering kambuh, bahkan bisa sampai empat kali dalam sehari.
Dia yang sudah mendapatkan pekerjaan untuk menambah penghasilan keluarga akhirnya memantapkan diri untuk melakukan EEG beberapa waktu kemudian.
Hasilnya, di samping terapi obat yang diminum dua kali sehari, setiap harinya, Aishiva kini tak lagi kambuh.
Bahkan dari hasil EEG terakhir pada Januari 2025, hasil menunjukkan gelombang otak Aishiva normal.
“Kalau hasilnya normal lagi, dosis obat akan dikurangi,” tuturnya.
Baca juga: Depresi Epilepsi Tak Kunjung Sembuh, Pemuda di Grobogan Gorok Lehernya hingga Tewas
Meski terkadang was-was suatu saat anaknya akan kambuh, tapi dia memilih untuk legawa dan menerima kondisi anaknya.
Tri berupaya mengajak anak pertamanya itu untuk berbincang dari hati ke hati, yang meski tak pernah mendapatkan respons balik saat ini, tapi dia yakin suatu saat anaknya dapat sembuh dan berbincang dua arah dengannya.
“Saya sering deep talk sebelum tidur. Saya ceritakan perjuangan hidup saya kepada dia, bagaimana sulitnya masa lalu saya, berharap dia bisa mengerti,” ungkapnya.
Dengan segala hal yang dilewati, kini dia juga berupaya menambah ilmu melalui internet soal ilmu pendampingan hingga penanganan yang harus diberikan kepada penderita epilepsi.
Mulai dari memiringkan ke kanan jika anak sedang demam, hingga memperbaiki penggunaan kalimat ketika berkomunikasi.
Misalnya, dia tak lagi menggunakan kata "jangan teruskan" ketika melarang anak, namun langsung berkata "berhenti" untuk menegaskan permintaan. Dia terus mempelajarinya.
“Saya baca-bacakan doa juga. Semua saya lakukan dengan harapan suatu saat dia akan sembuh. Saya yakin karena doa ibu ini adalah obat,” harapnya.
Tri yang bekerja sebagai sales sebuah produk minuman itu juga memilih untuk mendukung apa pun yang disukai anaknya, mulai dari tontonan kartun, anime, hingga hobi menggambar.
Dia menyisihkan pendapatannya untuk membeli buku gambar, meski buku-buku itu kerap disobek tanpa alasan yang kadang membuatnya lelah.
Belum lagi ketika menghadapi pandangan orang baru yang memandang aneh anaknya, bahkan membandingkan anak pertama dengan anak keduanya yang keadaannya normal.
“Sedih, ingin nangis, tapi yowislah (ya sudah lah). Saya bukan minta perhatian, hanya memberi tahu dan tolong jangan menghakimi seenaknya,” pinta Tri.
Kepada ibu-ibu yang memiliki pengalaman hidup seperti dirinya, Bunda Asyifa meminta untuk segera membawa anaknya ke dokter untuk mendapatkan penanganan sesegera mungkin.
Dia menyadari bahwa penanganan yang diberikan kepada anaknya lambat. Dia tak langsung ke pusat kesehatan, melainkan memilih pengobatan alternatif dan obat herbal yang nyatanya tak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan kesehatan anaknya.
“Segera ke dokter supaya bisa segera diobati. Jangan kemana-mana,” tegasnya.
Tri juga meminta masyarakat luas yang mendapati kejadian anak epilepsi yang kambuh untuk tidak panik, cukup ditemani dan memastikan bahwa tidak ada kondisi berbahaya di sekitar penderita.
Untuk pemerintah, meski tak pernah mendapatkan bantuan satu kali pun, Bunda Asyifa cukup berterima kasih karena pengobatan anaknya ditanggung oleh BPJS.
Baginya, yang terpenting adalah pemerintah semakin memperbaiki layanan kesehatan dari waktu ke waktu.
Kini, Tri memilih untuk berfokus menjalani hari-harinya. Hidup sendiri mengasuh dua anak, sementara sang suami pergi merantau ke Pulau Bali. Tak mudah baginya, namun dia memilih tak menyerah.
“Saya berusaha melewati hidup dengan tertawa. Orang lihat saya ketawa, tapi kadang kalau sendiri saya menangis. Tidak apa-apa, ini jalan hidup saya, ada banyak hikmah yang bisa saya ambil,” tandasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang