Seperti mendesak DPR dan pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
“Kriminalisasi terjadi akibat belum adanya payung hukum yang kuat. Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sekitar 1,6 juta hektar tanah adat berkonflik dengan korporasi,” ujarnya.
Kemudian, meminta DPR mengesahkan RUU Perampasan Aset. Sebab, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), aset koruptor sulit disita hingga negara merugi sampai Rp 200 triliun.
Lalu, Thanthowy juga menuntut segera disahkannya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Pasalnya, sebanyak 4,2 juta pekerja tidak memiliki perlindungan hukum.
"Menolak revisi undang-undang TNI dan Polri, (karena) ada potensi perluasan peran TNI-Polri di ranah sipil. Hal itu berpotensi meningkatkan represi dan melemahkan demokrasi," jelasnya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu turut menolak revisi UU Minerba dan Kejaksaan.
Sebab, dinilai menguntungkan oligarki dan melemahkan independensi hukum.
"Lalu pemangkasan anggaran di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Maka harus ada evaluasi Inpres No. 1 Tahun 2025 dan realokasi anggaran yang lebih tepat,” ucapnya.
Selanjutnya, aksi tersebut mengkritisi program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dia menemukan sejumlah masalah distribusi, pengawasan, dan kualitas makanan yang tidak memadai.
“Sekitar 30 persen makanan yang didistribusikan tidak layak konsumsi. Kami meminta ada audit menyeluruh, perbaikan skema distribusi, atau pembatalan program,” ucapnya.
"Gerakan ini mendesak pemerintah dan DPR untuk segera bertindak demi kepentingan rakyat, bukan oligarki. Masyarakat sipil akan terus mengawal dan memastikan demokrasi tetap berada di jalur yang benar," tutupnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang