SURABAYA, KOMPAS.com - Ratusan massa aksi yang didominasi para pemuda menggelar aksi demonstrasi "Indonesia Gelap" di Kantor DPRD Jawa Timur (Jatim) pada Jumat (21/2/2025).
Di tengah para peserta aksi itu, terselip para orangtua siswa.
Salah satunya, Syaiful (63), warga Surabaya. Ia mengatakan, keputusannya untuk mengikuti aksi "Indonesia Gelap" itu sebagai bentuk ketidakpuasannya pada kebijakan Presiden Prabowo Subianto
"Menyakitkan sekali, dia (Prabowo) tidak mendukung ke rakyat. Seharusnya dia menegakkan keadilan, bukan malah menindas rakyat," kata Syaiful ketika ditemui di DPRD Jatim, Jumat (21/2/2025).
Baca juga: Demo Indonesia Gelap di DPRD Jatim Dibuka dengan Teatrikal, Apa Maknanya?
Selain itu, kata Syaiful, program makan bergizi gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo masih belum tepat sasaran. Menurutnya, seharusnya kebijakan tersebut diganti dengan pendidikan gratis.
"Dia (Prabowo) justru dalam pendidikan, bukannya membela rakyat yang miskin agar bisa sekolah atau kuliah gratis. Malah makan gratis, itu yang sebenarnya tidak terarah," jelasnya.
Syaiful menyebut, program MBG rawan disalahgunakan oleh sejumlah pihak yang mencari keuntungan.
Baca juga: Makan Bergizi Gratis di Demak Baru Dimulai Pekan Depan, Sasar 3.000 Siswa
Oleh karena itu, sudah waktunya untuk menggantinya dengan pendidikan gratis.
"(MBG) Ini bisa disalahgunakan. Seharusnya pendidikannya yang gratis, justru itu yang lebih mengena ke seluruh masyarakat yang benar-benar membutuhkan pendidikan," ujarnya.
Sementara itu, Rosidah (56) mengatakan sudah datang untuk mengikuti aksi "Indonesia Gelap" itu sejak pukul 10.00 WIB. Dia datang bersama beberapa temannya di DPRD Jatim.
"100 hari kepemimpinan Presiden Prabowo belum memuaskan. Saya sebagai rakyat jelata masih belum puas sampai sekarang, karena masih belum membela masyarakat," ucap Rosidah.
Selain itu, Rosidah juga menganggap program MBG yang tengah berjalan tersebut tidak tepat sasaran.
Dia menilai, lebih banyak masyarakat yang membutuhkan akses pendidikan gratis.
"(MBG) itu sangat tidak tepat sasaran. Yang penting itu bukan orientasi perut, tapi otak untuk masa depan. Anak dan cucu saya juga enggak mendapat MBG, jadi memang tidak tepat," jelasnya.
Koordinator aksi Alegra, Thanthowy Syamsuddin, mengatakan ada sejumlah poin tuntutan yang disampaikan.
Seperti mendesak DPR dan pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
“Kriminalisasi terjadi akibat belum adanya payung hukum yang kuat. Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sekitar 1,6 juta hektar tanah adat berkonflik dengan korporasi,” ujarnya.
Kemudian, meminta DPR mengesahkan RUU Perampasan Aset. Sebab, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), aset koruptor sulit disita hingga negara merugi sampai Rp 200 triliun.
Lalu, Thanthowy juga menuntut segera disahkannya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Pasalnya, sebanyak 4,2 juta pekerja tidak memiliki perlindungan hukum.
"Menolak revisi undang-undang TNI dan Polri, (karena) ada potensi perluasan peran TNI-Polri di ranah sipil. Hal itu berpotensi meningkatkan represi dan melemahkan demokrasi," jelasnya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu turut menolak revisi UU Minerba dan Kejaksaan.
Sebab, dinilai menguntungkan oligarki dan melemahkan independensi hukum.
"Lalu pemangkasan anggaran di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Maka harus ada evaluasi Inpres No. 1 Tahun 2025 dan realokasi anggaran yang lebih tepat,” ucapnya.
Selanjutnya, aksi tersebut mengkritisi program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dia menemukan sejumlah masalah distribusi, pengawasan, dan kualitas makanan yang tidak memadai.
“Sekitar 30 persen makanan yang didistribusikan tidak layak konsumsi. Kami meminta ada audit menyeluruh, perbaikan skema distribusi, atau pembatalan program,” ucapnya.
"Gerakan ini mendesak pemerintah dan DPR untuk segera bertindak demi kepentingan rakyat, bukan oligarki. Masyarakat sipil akan terus mengawal dan memastikan demokrasi tetap berada di jalur yang benar," tutupnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang