Di Lumajang, Amad sempat dibuatkan rumah oleh mertuanya untuk ditinggali bersama Supiah.
Lokasinya berada di Dusun Kemamang, Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro.
Amad masih ingat betul lokasi rumahnya dulu. Ia menceritakan, di depan rumahnya terdapat dua pohon durian dan di belakangnya ada sungai yang biasa digunakannya untuk mandi.
Sayang, kebersamaan Amad dengan istri tercinta di Lumajang tidak berlangsung lama, hanya sekitar tiga bulan.
Bahkan, Supiah belum sampai mengandung buah cinta keduanya.
Baca juga: LVRI Sebut Veteran Hanya Dapat Uang Rp 250.000 Per Bulan dari Negara
Pria kelahiran Surabaya ini harus berangkat tugas ke Sulawesi Utara dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Manado.
Peristiwa itu kini kita kenal dengan pertempuran Merah Putih pada 14 Februari 1946.
"Baru saja nikah, saya berangkat tugas ke Sulawesi berjuang, Supiah saya tinggal di rumah," ujarnya.
Baca juga: LVRI Sebut Banyak Veteran yang Tak Punya Rumah hingga Akhir Hayatnya
Namun, siapa sangka, perpisahan yang mulanya direncanakan untuk sementara, berubah menjadi pertemuan terakhir pasangan muda ini untuk selama-lamanya.
Amad tidak kunjung kembali dari pertempuran sampai akhirnya Supiah dijemput maut pada tahun 1954.
Usai bertugas di Sulawesi, Amad kembali untuk mencari istri dan keluarganya di Lumajang. Namun, tidak adanya teknologi komunikasi saat itu membuat pencarian tidak kunjung berhasil.
Kondisi Amad usai bertugas juga tidak seperti saat meninggalkan Supiah di kampung. Apalagi, Amad sempat mati suri saat bertugas. Yang diingatnya saat itu hanya nama sang istri dan nama mertuanya, yakni Supangat.
Berbekal petunjuk yang minim itu, Amad mencari ke sana kemari demi bisa bertemu belahan hatinya.
Keinginan Amad untuk segera bertemu dengan keluarga Supiah semakin membara saat ia mendengar kabar bahwa istri tercintanya meninggal dunia.
"Tahun 1955, saya mulai cari, memang betul saya cari tapi enggak diketemukan. Sempat dulu cari di Candipuro tapi enggak sampai ke Penanggal, kondisinya tidak memungkinkan waktu itu," ungkap Amad.
Pencarian Amad selama puluhan tahun akhirnya berbuah hasil.
Ia menemukan makam Supiah beserta keluarganya yang masih hidup di Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro.
Tangis haru Amad pun pecah saat pertama kali melihat adik kandung Supiah, Sunimah dan Khotijah.
Ketiganya saling memeluk melepas rindu yang sudah tertahan puluhan tahun. Terakhir mereka bertemu, saat itu Sunimah dan Khotijah masih anak-anak.
Adik-adik Supiah, Sunimah dan Khotijah, tidak ada yang menyangka bisa bertemu kembali dengan Amad.
Lama tidak ada kabar sejak terakhir meninggalkan rumah, keluarga mengira Amad sudah gugur saat berjuang mengusir penjajah.
Sunimah, adik bungsu Supiah, menceritakan, saat ditinggal Amad bertugas, Supiah kerap bercerita tentang suaminya yang sedang bertugas ke Sulawesi.
Namun, sampai Supiah menghembuskan napas terakhir, Amad tidak kunjung kembali.
"Kakak saya itu dulu kan tidurnya sama saya jadi sering cerita-cerita suaminya itu tugas ke Sulawesi. Mau nyari ya enggak bisa kan enggak ada surat waktu itu, jadi hanya pasrah, sekarang ketemu ya senang sekali terharu, kayak mimpi," ungkap Sunimah.
Sejenak bercengkrama dan melepas rindu dengan keluarga, Amad bergegas menuju pusara sang istri yang telah puluhan tahun dicarinya.
Sambil membawa sekantong bunga, Amad mengangkat tangannya sebagai bentuk penghormatan kepada Supiah.
Air mata jatuh dari mata Amad dan menetes tepat di kuburan Supiah.
"Saya hormati istri saya namanya Supiah, panggilannya Suci, meninggal tahun 1954, waktu saya sedang bertugas. Saya tidak punya kesempatan pamit, dia sudah meninggal. Baru tahun 2025 ini saya datang ke makam istri saya tercinta, namanya Supiah," ucap Amad di samping makam istrinya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang