SURABAYA, KOMPAS.com - Lima perempuan lintas iman sejajar membacakan puisi karya WS Budi ST untuk mengenang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di halaman Masjid Muhammad Cheng Hoo, Surabaya.
Bukan hanya mereka yang beragama Islam, tetapi juga Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, sampai Penghayat ikut memperingati Haul Gus Dur ke-15 di Surabaya pada Minggu (19/1/2025).
Di tengah-tengah mereka, Dewa Uang berkeliling memberikan angpau sebagai simbol berbagi rezeki.
Baca juga: Pigai: Saya Satu-satunya Menteri yang Dibawa Gus Dur dari Papua
Alunan tarian barongsai pun ikut meramaikan suasana. Etnika Praise Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Waru melantunkan musik religi dengan sangat merdu.
Cerita dongeng yang dibawakan Komunitas Teman Tuli Surabaya juga membuat penonton kagum.
Peringatan ini sengaja dikemas oleh GUSDURian Surabaya untuk mengenang perjuangan Presiden Indonesia ke-4 dalam merangkul semua golongan.
“Kita melihat orang yang hadir di sini dengan latar belakang berbeda-beda. Tapi kita merasa menjadi satu bagian yang tak terpisahkan,” kata Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional, Alissa Wahid.
Putri sulung Gus Dur tersebut mengapresiasi keinginan masyarakat lintas iman di Surabaya yang hadir untuk ikut memperingati 15 tahun kepergian ayahnya.
“Tidak ada yang datang karena paksaan ataupun gengsi. Tapi semua datang karena ingin berada bersama-sama,” terang Alissa.
Dia pun mengenang nilai-nilai perjuangan yang ditanamkan Gus Dur selama menjabat sebagai Presiden Indonesia, terutama dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat minoritas kala itu.
“Harapannya para politisi dan pejabat bisa mengambil inspirasi dari Gus Dur, bergerak berdasarkan hati nurani, bukan kekuasaan,” tuturnya.
Selaras dengan Alissa, eks Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, ikut menyampaikan pesannya.
“Gus Dur sungguh-sungguh menjaga dan merawat negara Indonesia dalam pluralisme,” kata Mahfud MD.
Sebagai Menteri Pertahanan di era pemerintahan Gus Dur, Mahfud MD mengingat masalah intoleransi yang diperjuangkan Gus Dur saat itu. Menurutnya, kini sudah jauh membaik.
“Sekarang pluralisme sudah cukup bagus, dalam artian konflik antar-golongan sudah lumayan (membaik),” tuturnya.