Editor
Itu karena polisi dinilai tidak melihat insiden itu sebagai implikasi dari konflik agraria yang semestinya bisa diselesaikan oleh pemerintah. Sebaliknya, polisi dia tuding justru lebih berpihak pada kepentingan perusahaan. Tuduhan itu juga dibantah oleh Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banyuwangi, Komisaris Polisi Andrew Vega.
Menurut Wahyu, cara-cara seperti ini tidak akan menyelesaikan akar persoalan dan hanya akan mengulang pola “perampasan” hak warga atas tanah.
“Masalah di Pakel ini adalah masalah ketimpangan penguasaan lahan, di mana hampir seluruh wilayah desa yang dikuasai masyarakat itu terhitung kecil,” kata Wahyu.
Dari 1.309 hektare lahan di Desa Pakel, warga hanya mengelola 271,6 hektare. Sementara sisanya dikelola oleh PT Bumi Sari dan Perhutani KPH Banyuwangi Barat.
“Meskipun PT Bumisari mendapat HGU, tetapi proses penerbitan HGU itu bagi kami ganjil karena tidak pernah melibatkan warga desa sana dan juga tidak pernah melihat konteks ketimpangan yang terjadi di Pakel,” tutur Wahyu.
Baca juga: 40 Petani Ditangkap, Polda Bengkulu Bantah Ada Pemukulan
Dia juga mengatakan bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pernah berjanji untuk meninjau HGU dalam konflik ini karena ada dugaan malprosedur.
“Kami sudah bosan meminta ATR/BPN menyelesaikan masalah ini karena tidak ada tindakan yang bermakna,” kata Wahyu.
“Padahal kalau pemerintah mau memutus rantai kekerasan dan kemiskinan di Desa Pakel, maka selesaikan konflik agraria ini,” ujarnya.
BBC News Indonesia telah menghubungi juru bicara Kementerian ATR/BPN, namun belum mendapat respons sampai artikel ini diterbitkan.
Menurut Walhi, apa yang terjadi di Desa Pakel menggambarkan pola berulang yang terjadi dalam konflik agraria di wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Dia menilai pemerintah gagal menyelesaikan akar masalah dari konflik agraria yang salah satunya bermuara pada ketimpangan hak pengelolaan lahan antara masyarakat dengan perusahaan.
Dalam kasus di Pakel, misalnya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi justru membentuk tim penyelesaian sosial. Padahal, menurut Huslaini, yang bermasalah adalah urusan agrarianya.
Sementara itu, pemerintah dan aparat dinilai cenderung menggunakan pendekatan pemidanaan dan represif dalam mengatasi letupan konfliknya. Cara itu sering kali berujung pada “kriminalisasi” seperti yang terjadi pada Muhriyono.
Baca juga: Sri Mulyani Puji Kementerian ATR/BPN Jalankan Reforma Agraria
“Itu sangat merugikan masyarakat dan tidak menyelesaikan persoalan kalau melihat model pemidanaan dan model tindakan represif aparat yang semakin meningkat,” kata Huslaini.
Presiden Jokowi pernah menjanjikan reforma agraria. Namun setelah hampir dua periode menjabat, jumlah konflik agraria yang terjadi justru meningkat.
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), telah terjadi sebanyak 2.939 insiden konflik agraria di lahan seluas 6,3 juta hektare selama era Presiden Jokowi menjabat. Mayoritas konflik terjadi pada sektor perkebunan.
Konflik-konflik agraria tersebut telah berdampak pada 1,75 juta keluarga.
KPA mencatat, sebanyak 2.442 orang yang mempertahankan hak atas tanahnya telah dikriminalisasi sepanjang era pemerintahan Jokowi. KPA juga mencatat ada 72 korban tewas di tengah pusaran konflik agraria.
Baca juga: BBT Pastikan Hak-hak Warga Penajam Paser Utara Terpenuhi Melalui Reforma Agraria
Beberapa contoh kasus lainnya antara lain penangkapan 45 petani yang berkonflik dengan PT Wirakarya Sakti di Batanghari, Jambi, dan penangkapan 21 orang masyarakat adat Tano Batak saat berunjuk rasa di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang terjadi pada 2020.
Dalam laporan tahunan KPA itu, juga disebutkan bahwa aparat kepolisian menjadi pihak yang paling banyak terlibat dalam kasus kekerasan di wilayah konflik agraria.
Jumlah kasus kekerasan oleh aparat pun terus meningkat dari tahun ke tahun, yang mengindikasikan “tidak ada evaluasi serius terhadap institusi tersebut”.
Wahyu Eka Setiawan dari Walhi Surabaya mengatakan bahwa pemerintah sampai saat ini masih cenderung menyelesaikan konflik agraria yang berkaitan dengan sengketa tanah.
Padahal pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 untuk mempercepat reforma agraria yang semestinya menjadi acuan dan pedoman.
Baca juga: Komnas HAM: Konflik Agraria Meningkat, Pihak Teradu Paling Banyak dari Korporasi dan Pemerintah
"Tapi nampaknya perpres tersebut tidak menjadi acuan dan pedoman, sehingga penyelesaian konflik agraria jatuhnya seperti sengketa tanah," kata Wahyu.
Ketika penyelesaian konflik agraria hanya fokus pada aspek legalitas, maka masyarakat dirugikan.
Pasalnya dalam konflik-konflik agraria di Indonesia, masyarakat yang menjadi korban tidak memiliki legalitas meski secara historis mereka telah mendiami dan mengelola area tersebut.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang