Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konflik Agraria Warisan Orde Baru di Balik Penangkapan Petani Desa Pakel di Banyuwangi

Kompas.com, 14 Juni 2024, 11:44 WIB
Rachmawati

Editor

Itu karena polisi dinilai tidak melihat insiden itu sebagai implikasi dari konflik agraria yang semestinya bisa diselesaikan oleh pemerintah. Sebaliknya, polisi dia tuding justru lebih berpihak pada kepentingan perusahaan. Tuduhan itu juga dibantah oleh Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banyuwangi, Komisaris Polisi Andrew Vega.

Menurut Wahyu, cara-cara seperti ini tidak akan menyelesaikan akar persoalan dan hanya akan mengulang pola “perampasan” hak warga atas tanah.

“Masalah di Pakel ini adalah masalah ketimpangan penguasaan lahan, di mana hampir seluruh wilayah desa yang dikuasai masyarakat itu terhitung kecil,” kata Wahyu.

Dari 1.309 hektare lahan di Desa Pakel, warga hanya mengelola 271,6 hektare. Sementara sisanya dikelola oleh PT Bumi Sari dan Perhutani KPH Banyuwangi Barat.

“Meskipun PT Bumisari mendapat HGU, tetapi proses penerbitan HGU itu bagi kami ganjil karena tidak pernah melibatkan warga desa sana dan juga tidak pernah melihat konteks ketimpangan yang terjadi di Pakel,” tutur Wahyu.

Baca juga: 40 Petani Ditangkap, Polda Bengkulu Bantah Ada Pemukulan

Dia juga mengatakan bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pernah berjanji untuk meninjau HGU dalam konflik ini karena ada dugaan malprosedur.

“Kami sudah bosan meminta ATR/BPN menyelesaikan masalah ini karena tidak ada tindakan yang bermakna,” kata Wahyu.

“Padahal kalau pemerintah mau memutus rantai kekerasan dan kemiskinan di Desa Pakel, maka selesaikan konflik agraria ini,” ujarnya.

BBC News Indonesia telah menghubungi juru bicara Kementerian ATR/BPN, namun belum mendapat respons sampai artikel ini diterbitkan.

Mengapa konflik agraria tak kunjung tuntas?

Menurut Walhi, apa yang terjadi di Desa Pakel menggambarkan pola berulang yang terjadi dalam konflik agraria di wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Dia menilai pemerintah gagal menyelesaikan akar masalah dari konflik agraria yang salah satunya bermuara pada ketimpangan hak pengelolaan lahan antara masyarakat dengan perusahaan.

Dalam kasus di Pakel, misalnya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi justru membentuk tim penyelesaian sosial. Padahal, menurut Huslaini, yang bermasalah adalah urusan agrarianya.

Sementara itu, pemerintah dan aparat dinilai cenderung menggunakan pendekatan pemidanaan dan represif dalam mengatasi letupan konfliknya. Cara itu sering kali berujung pada “kriminalisasi” seperti yang terjadi pada Muhriyono.

Baca juga: Sri Mulyani Puji Kementerian ATR/BPN Jalankan Reforma Agraria

“Itu sangat merugikan masyarakat dan tidak menyelesaikan persoalan kalau melihat model pemidanaan dan model tindakan represif aparat yang semakin meningkat,” kata Huslaini.

Presiden Jokowi pernah menjanjikan reforma agraria. Namun setelah hampir dua periode menjabat, jumlah konflik agraria yang terjadi justru meningkat.

Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), telah terjadi sebanyak 2.939 insiden konflik agraria di lahan seluas 6,3 juta hektare selama era Presiden Jokowi menjabat. Mayoritas konflik terjadi pada sektor perkebunan.

Konflik-konflik agraria tersebut telah berdampak pada 1,75 juta keluarga.

KPA mencatat, sebanyak 2.442 orang yang mempertahankan hak atas tanahnya telah dikriminalisasi sepanjang era pemerintahan Jokowi. KPA juga mencatat ada 72 korban tewas di tengah pusaran konflik agraria.

Baca juga: BBT Pastikan Hak-hak Warga Penajam Paser Utara Terpenuhi Melalui Reforma Agraria

Beberapa contoh kasus lainnya antara lain penangkapan 45 petani yang berkonflik dengan PT Wirakarya Sakti di Batanghari, Jambi, dan penangkapan 21 orang masyarakat adat Tano Batak saat berunjuk rasa di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang terjadi pada 2020.

Dalam laporan tahunan KPA itu, juga disebutkan bahwa aparat kepolisian menjadi pihak yang paling banyak terlibat dalam kasus kekerasan di wilayah konflik agraria.

Jumlah kasus kekerasan oleh aparat pun terus meningkat dari tahun ke tahun, yang mengindikasikan “tidak ada evaluasi serius terhadap institusi tersebut”.

Wahyu Eka Setiawan dari Walhi Surabaya mengatakan bahwa pemerintah sampai saat ini masih cenderung menyelesaikan konflik agraria yang berkaitan dengan sengketa tanah.

Padahal pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 untuk mempercepat reforma agraria yang semestinya menjadi acuan dan pedoman.

Baca juga: Komnas HAM: Konflik Agraria Meningkat, Pihak Teradu Paling Banyak dari Korporasi dan Pemerintah

"Tapi nampaknya perpres tersebut tidak menjadi acuan dan pedoman, sehingga penyelesaian konflik agraria jatuhnya seperti sengketa tanah," kata Wahyu.

Ketika penyelesaian konflik agraria hanya fokus pada aspek legalitas, maka masyarakat dirugikan.

Pasalnya dalam konflik-konflik agraria di Indonesia, masyarakat yang menjadi korban tidak memiliki legalitas meski secara historis mereka telah mendiami dan mengelola area tersebut.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Halaman:


Terkini Lainnya
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Surabaya
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
Surabaya
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Surabaya
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Surabaya
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
Surabaya
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Surabaya
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Surabaya
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Surabaya
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
Surabaya
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
Surabaya
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Surabaya
Mahasiswa Terdampak Bencana Sumatera, UTM Bebaskan UKT hingga Semester 8
Mahasiswa Terdampak Bencana Sumatera, UTM Bebaskan UKT hingga Semester 8
Surabaya
Curhat Kurir Paket di Banyuwangi, Kena Omel gara-gara Order Palsu
Curhat Kurir Paket di Banyuwangi, Kena Omel gara-gara Order Palsu
Surabaya
Khofifah Tinjau Pembangunan 2 Jembatan yang Ambruk di Lumajang, Pastikan Rampung 31 Desember
Khofifah Tinjau Pembangunan 2 Jembatan yang Ambruk di Lumajang, Pastikan Rampung 31 Desember
Surabaya
Antre 3 Jam di Pasar Murah Pemprov Jatim di Lumajang, Warga Pulang Tangan Kosong
Antre 3 Jam di Pasar Murah Pemprov Jatim di Lumajang, Warga Pulang Tangan Kosong
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau