Editor
Ketika dimintai tanggapan secara terpisah, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banyuwangi, Komisaris Polisi Andrew Vega, mengatakan proses hukum terhadap Muhriyono akan tetap berjalan.
Baca juga: Mahfud MD Bakal Bikin Badan Khusus untuk Tangani Konflik Agraria
Andrew mengeklaim polisi telah memiliki bukti yang cukup untuk menetapkan Muhriyono sebagai tersangka, antara lain hasil visum korban dan keterangan para saksi.
"Korban ini tidak sendirian, banyak saksi-saksi lainnya, yang memang pada saat itu kejadiannya siang hari," kata Andrew.
"Jelas bahwa dari hasil keterangan dan saksi, para saksi semuanya yang ada di TKP melihatnya dan mengarah kepada Pak Muhriyono," sambungnya.
Muhriyono disangkakan dengan pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pengeroyokan.
Sebaliknya, warga juga sempat melaporkan PT Bumisari atas kasus dugaan penganiayaan terhadap warga. Andrew mengaku kasus tersebut juga masih berproses pada tahap pemeriksaan saksi.
Baca juga: CEK FAKTA: Muhaimin Sebut Food Estate Hasilkan Konflik Agraria dan Merusak Lingkungan
Edy Kurniawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menuding penangkapan Muhriyono “cacat prosedural”.
Itu karena, menurut Edy, Muhriyono dijemput paksa oleh Polresta Banyuwangi pada 9 Juni 2024. Sedangkan surat perintah penetapan tersangka, surat perintah penangkapan, dan surat perintah penahanan terhadapnya baru terbit pada 10 Juni 2024.
“Ini mengarah pada praktik penegakan hukum yang tidak adil dan semena-mena,” kata Edy.
Mengingat ini bukan kali pertama warga Desa Pakel berurusan dengan hukum, YLBHI menduga penangkapan ini sebagai “upaya menakut-nakuti warga agar tidak memperjuangkan hak atas tanah mereka”.
Menanggapi tuduhan itu, Kasatreskrim Polresta Banyuwangi, Kompol Andrew Vega, membantahnya.
Baca juga: Jika Terpilih sebagai Presiden, Anies Berjanji Akan Fokus Selesaikan Konflik Agraria
Andrew mengatakan prosedur yang dijalankan polisi pada tanggal 9 Juni adalah “membawa paksa” Muhriyono karena sudah dua kali mangkir panggilan pemeriksaan.
Baru pada tanggal 10 Juni, penyidik menetapkan Muhriyono sebagai tersangka dan memerintahkan penangkapan dan penahanan.
Dihubungi terpisah, Kapolres Banyuwangi, Komisaris Besar Nanang Haryono, mengatakan: “Kalau ada yang tidak benar, ya laporkan saja ke Paminal”.
Menurut catatan Walhi, riwayat klaim warga atas tanah di Desa Pakel bermula sejak masa penjajahan Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda, melalui Bupati Banyuwangi R.A.A.M. Notohadi Suryo pernah memberi hak untuk membuka hutan yang berlokasi di Desa Pakel pada 11 Januari 1929.
Namun, akta tersebut tidak pernah sampai ke tangan tujuh orang yang mengajukannya. Setelahnya, pembukaan lahan yang dilakukan oleh ketujuh orang tersebut diwarnai oleh sengketa hingga penangkapan.
Pada 1965, keturunan dari tujuh orang tersebut mengajukan permohonan bercocok tanam di wilayah tersebut. Pemerintah tidak merespons permohonan tersebut.
Baca juga: Buka Lahan dengan Cara Dibakar, 2 Petani Ditangkap Polisi di Rokan Hilir Riau
Demi menyambung hidup, sebagian kecil warga bercocok tanam di wilayah yang bekas perkebunan Belanda yang tidak aktif bernama Taman Glugoh.
Ketika peristiwa 1965 meletus, warga tidak berani menduduki kawasan hutan karena khawatir dicap sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tetapi lahan yang mereka kelola kemudian diklaim sebagai milik PT Bumi Sari. Pada 13 Desember 1985, PT Bumi Sari mendapat HGU atas tanah seluas 1.189,89 hektare di Desa Bayu, Kecamatan Songgon.
Namun Walhi menyebut bahwa pada praktiknya, PT Bumi Sari mengeklaim izin pengelolaan kawasan hingga ke Desa Pakel.
Pada 14 Februari 2018, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi menerbitkan surat yang menegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk ke dalam HGU PT Bumi Sari.
Baca juga: 40 Petani Ditangkap di Bengkulu, Pengacara Siapkan Praperadilan
Warga kemudian menanami pohon pisang di lahan tersebut. Aksi warga kemudian dilaporkan ke polisi oleh perusahaan, sehingga belasan orang dimintai keterangan.
Ilustrasi penjara. Pasalnya bagi warga Pakel, tanah ini adalah sumber penghidupan mereka. Dari tanah itu mereka menghasilkan pisang, jagung, petai, kopi, kacang, singkong hingga durian.
“Meskipun kami cuma mengelola beberapa hektare, tapi tanah kami tidak bisa ditebus dengan uang. Ini untuk keberlanjutan hidup kami, tempat tinggal kami. Warga Pakel tidak ada lagi harapannya. Tanah inilah harapannya,” kata Harun.
“Saya daripada mati kelaparan, lebih baik saya mati dibunuh oleh polisi-polisi itu,” sambungnya.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan, mengatakan proses hukum terhadap warga adalah tindakan yang “gegabah”.
Baca juga: 40 Petani Ditangkap, Polda Bengkulu Bantah Ada Pemukulan