Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konflik Agraria Warisan Orde Baru di Balik Penangkapan Petani Desa Pakel di Banyuwangi

Kompas.com, 14 Juni 2024, 11:44 WIB
Rachmawati

Editor

Ketika dimintai tanggapan secara terpisah, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banyuwangi, Komisaris Polisi Andrew Vega, mengatakan proses hukum terhadap Muhriyono akan tetap berjalan.

Baca juga: Mahfud MD Bakal Bikin Badan Khusus untuk Tangani Konflik Agraria

Andrew mengeklaim polisi telah memiliki bukti yang cukup untuk menetapkan Muhriyono sebagai tersangka, antara lain hasil visum korban dan keterangan para saksi.

"Korban ini tidak sendirian, banyak saksi-saksi lainnya, yang memang pada saat itu kejadiannya siang hari," kata Andrew.

"Jelas bahwa dari hasil keterangan dan saksi, para saksi semuanya yang ada di TKP melihatnya dan mengarah kepada Pak Muhriyono," sambungnya.

Muhriyono disangkakan dengan pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pengeroyokan.

Sebaliknya, warga juga sempat melaporkan PT Bumisari atas kasus dugaan penganiayaan terhadap warga. Andrew mengaku kasus tersebut juga masih berproses pada tahap pemeriksaan saksi.

Baca juga: CEK FAKTA: Muhaimin Sebut Food Estate Hasilkan Konflik Agraria dan Merusak Lingkungan

"Penangkapan tidak sesuai prosedur"

Edy Kurniawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menuding penangkapan Muhriyono “cacat prosedural”.

Itu karena, menurut Edy, Muhriyono dijemput paksa oleh Polresta Banyuwangi pada 9 Juni 2024. Sedangkan surat perintah penetapan tersangka, surat perintah penangkapan, dan surat perintah penahanan terhadapnya baru terbit pada 10 Juni 2024.

“Ini mengarah pada praktik penegakan hukum yang tidak adil dan semena-mena,” kata Edy.

Mengingat ini bukan kali pertama warga Desa Pakel berurusan dengan hukum, YLBHI menduga penangkapan ini sebagai “upaya menakut-nakuti warga agar tidak memperjuangkan hak atas tanah mereka”.

Menanggapi tuduhan itu, Kasatreskrim Polresta Banyuwangi, Kompol Andrew Vega, membantahnya.

Baca juga: Jika Terpilih sebagai Presiden, Anies Berjanji Akan Fokus Selesaikan Konflik Agraria

Andrew mengatakan prosedur yang dijalankan polisi pada tanggal 9 Juni adalah “membawa paksa” Muhriyono karena sudah dua kali mangkir panggilan pemeriksaan.

Baru pada tanggal 10 Juni, penyidik menetapkan Muhriyono sebagai tersangka dan memerintahkan penangkapan dan penahanan.

Dihubungi terpisah, Kapolres Banyuwangi, Komisaris Besar Nanang Haryono, mengatakan: “Kalau ada yang tidak benar, ya laporkan saja ke Paminal”.

Bagaimana riwayat konflik tanah di Desa Pakel Banyuwangi?

Menurut catatan Walhi, riwayat klaim warga atas tanah di Desa Pakel bermula sejak masa penjajahan Belanda.

Pemerintah kolonial Belanda, melalui Bupati Banyuwangi R.A.A.M. Notohadi Suryo pernah memberi hak untuk membuka hutan yang berlokasi di Desa Pakel pada 11 Januari 1929.

Namun, akta tersebut tidak pernah sampai ke tangan tujuh orang yang mengajukannya. Setelahnya, pembukaan lahan yang dilakukan oleh ketujuh orang tersebut diwarnai oleh sengketa hingga penangkapan.

Pada 1965, keturunan dari tujuh orang tersebut mengajukan permohonan bercocok tanam di wilayah tersebut. Pemerintah tidak merespons permohonan tersebut.

Baca juga: Buka Lahan dengan Cara Dibakar, 2 Petani Ditangkap Polisi di Rokan Hilir Riau

Demi menyambung hidup, sebagian kecil warga bercocok tanam di wilayah yang bekas perkebunan Belanda yang tidak aktif bernama Taman Glugoh.

Ketika peristiwa 1965 meletus, warga tidak berani menduduki kawasan hutan karena khawatir dicap sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tetapi lahan yang mereka kelola kemudian diklaim sebagai milik PT Bumi Sari. Pada 13 Desember 1985, PT Bumi Sari mendapat HGU atas tanah seluas 1.189,89 hektare di Desa Bayu, Kecamatan Songgon.

Namun Walhi menyebut bahwa pada praktiknya, PT Bumi Sari mengeklaim izin pengelolaan kawasan hingga ke Desa Pakel.

Pada 14 Februari 2018, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi menerbitkan surat yang menegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk ke dalam HGU PT Bumi Sari.

Baca juga: 40 Petani Ditangkap di Bengkulu, Pengacara Siapkan Praperadilan

Warga kemudian menanami pohon pisang di lahan tersebut. Aksi warga kemudian dilaporkan ke polisi oleh perusahaan, sehingga belasan orang dimintai keterangan.

"Tanah kami tak bisa ditebus dengan uang"

Ilustrasi penjara. (SHUTTERSTOCK/BORTN66) Ilustrasi penjara.
Di tengah kasus hukum yang berulang kali menjerat warga, Harun mengatakan bahwa mereka tidak akan takut dan berhenti memperjuangkan hak atas tanah itu.

Pasalnya bagi warga Pakel, tanah ini adalah sumber penghidupan mereka. Dari tanah itu mereka menghasilkan pisang, jagung, petai, kopi, kacang, singkong hingga durian.

“Meskipun kami cuma mengelola beberapa hektare, tapi tanah kami tidak bisa ditebus dengan uang. Ini untuk keberlanjutan hidup kami, tempat tinggal kami. Warga Pakel tidak ada lagi harapannya. Tanah inilah harapannya,” kata Harun.

“Saya daripada mati kelaparan, lebih baik saya mati dibunuh oleh polisi-polisi itu,” sambungnya.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan, mengatakan proses hukum terhadap warga adalah tindakan yang “gegabah”.

Baca juga: 40 Petani Ditangkap, Polda Bengkulu Bantah Ada Pemukulan

Halaman:


Terkini Lainnya
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Surabaya
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
Surabaya
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Surabaya
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Surabaya
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
Surabaya
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Surabaya
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Surabaya
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Surabaya
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
Surabaya
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
Surabaya
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Surabaya
Mahasiswa Terdampak Bencana Sumatera, UTM Bebaskan UKT hingga Semester 8
Mahasiswa Terdampak Bencana Sumatera, UTM Bebaskan UKT hingga Semester 8
Surabaya
Curhat Kurir Paket di Banyuwangi, Kena Omel gara-gara Order Palsu
Curhat Kurir Paket di Banyuwangi, Kena Omel gara-gara Order Palsu
Surabaya
Khofifah Tinjau Pembangunan 2 Jembatan yang Ambruk di Lumajang, Pastikan Rampung 31 Desember
Khofifah Tinjau Pembangunan 2 Jembatan yang Ambruk di Lumajang, Pastikan Rampung 31 Desember
Surabaya
Antre 3 Jam di Pasar Murah Pemprov Jatim di Lumajang, Warga Pulang Tangan Kosong
Antre 3 Jam di Pasar Murah Pemprov Jatim di Lumajang, Warga Pulang Tangan Kosong
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau