Editor
Di Surabaya, Marsinah menumpang hidup di rumah Marsini yang sudah berkeluarga.
Ia pun bekerja di pabrik plastik SKW di Kawasan Industri Rungkut, namun gajinya jauh dari cukup sehingga ia harus mencari tambahan penghasilan dengan berjualan nasi bungkus.
Marsinah juga sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang sebelum akhirnya pindah bekerja di pabrik arloji PT Catur Putra Surya (PT CPS) di Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo pada 1990.
Selama bekerja di PT CPS, Marsinah dikenal sebagai buruh yang vokal dan selalu memperjuangkan nasib rekan-rekannya.
Marsinah bergabung dan menjadi aktivis dalam organisasi buruh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) unit kerja PT CPS.
Pada 1993, pemerintah mengeluarkan instruksi Gubernur KDH TK I Jawa Timur dalam surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi imbauan kepada pengusaha Jawa Timur untuk menaikkan gaji pokok karyawan sebesar 20 persen.
Namun imbauan tersebut tidak segera dipenuhi oleh para pengusaha, termasuk oleh PT CPS, tempat Marsinah bekerja.
Hal itu kemudian memicu aksi unjuk rasa dari para buruh yang menuntut kenaikan upah.
Pada 2 Mei 1993, Marsinah terlibat dalam rapat perencanaan unjuk rasa yang digelar di Tanggulangin, Sidoarjo.
Kemudian pada 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja untuk melakukan aksi mogok.
Namun, Komando Rayon Militer (Koramil) setempat langsung turun tangan untuk mencegah aksi para buruh PT CPS tersebut.
Keesokan harinya pada 8 Mei 993, para buruh mogok total dan mengajukan 12 tuntutan kepada PT CPS.
Marsinah pun menjadi salah satu dari 15 orang perwakilan buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan, dan masih terlibat hingga 5 Mei 1993.
Pada siang hari tanggal 5 Mei 1993, sebanyak 13 buruh yang dianggap menghasut rekan-rekannya untuk berunjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo.
Mereka dipaksa mengundurkan diri dari PT CPS karena dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan lain bekerja.