Perselisihan itu dilatarbelakangi merebaknya paham bhairawa tantra, yang ritualnya dilakukan dengan memakan daging manusia, mabuk, hingga berhubungan badan dengan lawan jenis.
“Jadi ada paham Bhairawa Tantra yang di sini dipelopori oleh kelompok Kalang,” kisah Kiai Ali.
Hingga akhirnya pihak Sunan Bonang yang keluar sebagai pemenang. Ritual yang selama ini dilakukan oleh warga setempat lantas diganti, kebiasaan memakan daging manusia diganti dengan ingkung dan sebagainya.
Baca juga: Selama Libur Nataru, Jumlah Pengunjung Makam Sunan Kalijaga Demak Tertinggi di Jateng
“Ketika Sunan Bonang menang melawan Nyai Plencing dan Buto Locoyo, akhirnya kan syukuran. La syukurannya ini membuat aneka macam makanan, sebagai rasa syukur mengundang masyarakat sekitar dan petani dari Singkalanyar,” beber Kiai Ali.
“Lha isinya itu ada ingkungnya, ada sayur kluwihnya, kemudian ada polo pendemnya. Nah itu khas selamatannya Sunan Bonang ketika syukuran menang melawan Nyai Plencing dan Buto Locoyo di Prambon,” sambung Pengasuh Ponpes Bahrul Hasan Tankila itu.
Tradisi selamatan atau syukuran yang diprakarsai Sunan Bonang inilah yang di kemudian hari berkembang menjadi tradisi kenduri, yang kini tradisi tersebut tetap lestari terutama di kalangan umat Islam di Pulau Jawa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.