“Harga gabah Rp 8.000 itu hanya untuk pemodal. Kalau di kami bila di pemodal harganya bilang turun Rp 50 di petani bisa turun Rp 100. Bagi kami cepat terjual, cepat juga kami bertanam lagi,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Ngawi Supardi mengatakan, Maret ini petani akan masuk musim panen raya.
Luasan lahan tanaman padi yang akan dipanen mencapai 6.000 hektar dengan rata-rata menghasilkan gabah 6 hingga 7 ton.
Baca juga: Ngawi Mulai Panen Raya, Petani Masih Menikmati Harga Gabah Tinggi
"Ini sudah masuk musim panen di musim tanam kali ini dan diperkiraan ada lebih dari 42.000 ton gabah," ujarnya.
Supardi menambahkan, dalam panen padi musim tanam pertama petani di Kabupaten Ngawi masih akan menikmati harga tinggi hasil panen gabah mereka karena sejumlah daerah penghasil padi mengalami kendala musim sehingga tanam mereka mundur.
"Sementara untuk harga gabah diperkirakan masih mencapai Rp 6.900 hingga Rp 7.200, karena di daerah lain belum panen karena masa tanam mereka mundur, nunggu hujan. Kalau Ngawi karena ada sumur jadwal tanam tidak mundur,” imbuhnya.
Kelompok Tani Sri Makmur dari Desa Purwosari Kecamatan Kwadungan memiliki cara lain untuk meningkatkan kuantitas hasil tanaman padi.
Mereka mempraktikkan program pertanian berkelanjutan yang merupakan program pemerintah daerah.
Ketua Kelompok Tani Sri Makmur Joko Purnomo mengatakan, selama 2 tahun terakhir 80 anggota kelompok tani memanfaatkan bekas tanaman padi untuk dijadikan pupuk organik.
Baca juga: Beras Mahal, Petani di Demak Pungut Gabah Busuk untuk Konsumsi
Mereka menggunakan campuran kotoran sapi dan air seninya untuk proses pembuatannya.
“Tiga hari sekali kita bisa mengumpulkan 100 liter kencing sapi untuk bahan pembuatan pupuk yang dicampur dengan kompos, empon empon dan sekam padi,” katanya.
Penggunaan pupuk organik buatan kelompok tani, menurut Joko, mampu menekan pengguanaan pupuk kimia hingga separuh dari yang biasa digunakan.
Untuk pestisida kelompok tani Sri Makmur juga menggunakan tanaman yang ada di sekitar lingkungan mereka seperti urine sapi, air cucian beras, bonggol pisang, susu dan madu serta nanas.
“Untuk pupuk kimia petani di desa kami paling berani menggunakan pupuk kimia, per hektar biasanya 9 kwintal, namun dengan memanfaatkan pupuk organik bisa kami tekan hingga 430 kilogram pupuk kimia."
"Kami juga menggunakan pestisida buatan campuran nanas, susu, madu, jika mengunakan pestisda pabrikan harganya Rp 250.000, tapi dengan pupuk buatan kami cukup modal Rp 35.000. Satu musim kami bisa membuat 200 liter,” ungkapnya.