Salin Artikel

Kekhawatiran Petani Saat Harga Gabah Naik, tapi Harga Beras Pun Tinggi

Pasalnya, sebagian petani mengaku bisa membeli sejumlah kebutuhan yang sebelumnya sulit terpenuhi.

Samsul, salah satu petani anggota kelompok tani Berkah Maju di Desa Karangtengah Prandon, Kabupaten Ngawi, mengatakan, kenaikan harga gabah yang sempat mencapai Rp 8.000 per kilogram membuat dia bisa menabung.

“Biasanya dari 1 hektar sawah itu menghasilkan rata-rata 7 ton dengan harga Rp 6.000 hasilnya Rp 42 juta."

"Kenaikan panen kali ini ada Rp 14 juta, lumayan untuk tabungan modal tanam berikurnya,” ujarnya saat ditemui di rumahnya, Minggu (3/3/2024).

Meski memiliki kelebihan dari hasil panen, Samsul mengaku tidak bisa bernapas lega ketika sejumlah kebutuhan pokok mulai merangkak naik.

Situasi ini membuatnya tak bisa membayangkan bagaimana dengan warga yang tak memiliki sawah dan hanya mengandalkan membeli beras.

“Harga gabah naik, tapi harga kebutuhan pokok juga naik semua. Dari telur, daging ayam, cabai bahkan harga kerupuk juga naik."

"Saya tidak bisa membayangkan jika 1 kilo beras Rp 16.000, bagi pegawai yang gajinya UMR pun pasti kesulitan,” imbuhnya.

Nasib Ismail, petani di Desa Pleset, Kecamatan Pangkur, tak seberuntung Samsul yang sempat mengenyam harga gabah Rp 8.000.

Harga tertinggi gabah yang dia panen hanya mencapai Rp 7.800. Kenaikan harga tersebut menurutnya tak sebanding dengan kesulitan mendapatkan solar untuk menjalankan mesin bajak miliknya dan mesin pompa untuk mengairi sawah.

“Di sini kita belum pernah merasakan gabah Rp 8.000. Kemarin Rp 7.800 hari ini turun drastis menjadi Rp 6.800. Untuk mencari solar saja kami dipersulit dengan aturan yang ada,” katanya.

Meski harga gabah saat ini Rp 6.800, Ismail mengaku bisa bernapas lega karena kenaikan Rp 50 pun sangat berpengaruh meringankan upaya pengembalian pinjaman bank untuk menggarap sawah.

“Petani di sini panen langsung dijual di sawah karena cicilan bank sudah menunggu karena kami bisa mengerjakan sawah ya modalnya pinjam bank,” ucapnya.

Menurut Ismail, harga gabah Rp 8.000 hanyalah harga pemilik modal atau tengkulak karena petani tidak memiliki kemampuan bertahan agar gabah hasil panen mereka mempunyai nilai jual tinggi.

“Harga gabah Rp 8.000 itu hanya untuk pemodal. Kalau di kami bila di pemodal harganya bilang turun Rp 50 di petani bisa turun Rp 100. Bagi kami cepat terjual, cepat juga kami bertanam lagi,” ujarnya.

Masuk panen raya, pemda optimistis harga gabah masih tinggi

Sementara itu, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Ngawi Supardi mengatakan, Maret ini petani akan masuk musim panen raya.

Luasan lahan tanaman padi yang akan dipanen mencapai 6.000 hektar dengan rata-rata menghasilkan gabah 6 hingga 7 ton.

"Ini sudah masuk musim panen di musim tanam kali ini dan diperkiraan ada lebih dari 42.000 ton gabah," ujarnya.

Supardi menambahkan, dalam panen padi musim tanam pertama petani di Kabupaten Ngawi masih akan menikmati harga tinggi hasil panen gabah mereka karena sejumlah daerah penghasil padi mengalami kendala musim sehingga tanam mereka mundur.

"Sementara untuk harga gabah diperkirakan masih mencapai Rp 6.900 hingga Rp 7.200, karena di daerah lain belum panen karena masa tanam mereka mundur, nunggu hujan. Kalau Ngawi karena ada sumur jadwal tanam tidak mundur,” imbuhnya.

Keuntungan program pertanian berkelanjutan

Kelompok Tani Sri Makmur dari Desa Purwosari Kecamatan Kwadungan memiliki cara lain untuk meningkatkan kuantitas hasil tanaman padi.

Mereka mempraktikkan program pertanian berkelanjutan yang merupakan program pemerintah daerah.

Ketua Kelompok Tani Sri Makmur Joko Purnomo mengatakan, selama 2 tahun terakhir 80 anggota kelompok tani memanfaatkan bekas tanaman padi untuk dijadikan pupuk organik.

Mereka menggunakan campuran kotoran sapi dan air seninya untuk proses pembuatannya.

“Tiga hari sekali kita bisa mengumpulkan 100 liter kencing sapi untuk bahan pembuatan pupuk yang dicampur dengan kompos, empon empon dan sekam padi,” katanya.

Penggunaan pupuk organik buatan kelompok tani, menurut Joko, mampu menekan pengguanaan pupuk kimia hingga separuh dari yang biasa digunakan.

Untuk pestisida kelompok tani Sri Makmur juga menggunakan tanaman yang ada di sekitar lingkungan mereka seperti urine sapi, air cucian beras, bonggol pisang, susu dan madu serta nanas.

“Untuk pupuk kimia petani di desa kami paling berani menggunakan pupuk kimia, per hektar biasanya 9 kwintal, namun dengan memanfaatkan pupuk organik bisa kami tekan hingga 430 kilogram pupuk kimia."

"Kami juga menggunakan pestisida buatan campuran nanas, susu, madu, jika mengunakan pestisda pabrikan harganya Rp 250.000, tapi dengan pupuk buatan kami cukup modal Rp 35.000. Satu musim kami bisa membuat 200 liter,” ungkapnya.

Program pertanian ramah lingkungan di 30 hektar lahan milik kelompok tani Sri Makmur sata ini mampu menghasilkan gabah lebih banyak daripada menggunakan pupuk kimia.

Menurutnya, meski kenaikan harga gabah akan meningkatkan kesejahteran petani, dengan upaya pertanian ramah lingkungan, petani akan mampu menekan biaya pemupukan dan penggunaan pestisida.

Diakuinya, hal tersebut lebih memiliki nilai bagi petani dibandingkan dengan kenaikan harga gabah.

“Satu hektar lahan pertanian ramah lingkungan mampu menghasilkan gabah hingga  8 ton."

"Penggunaan  pupuk organik dan pestisida juga mempu menekan biaya produk, sayangnya masih banyak petani mindset-nya mengandalkan pupuk kimia,” pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2024/03/05/052722578/kekhawatiran-petani-saat-harga-gabah-naik-tapi-harga-beras-pun-tinggi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke