Dalam amar putusannya pada Oktober 2018, Hakim Ketua Surya Jaya dengan anggotanya H. Margono, dan Maruap Dohmatiga Pasaribu menolak kasasi yang diajukan pihak Budi Pego.
Bagaimana pun, Walhi Jawa Timur, menilai langkah penahanan Budi Pego setelah empat tahun dibiarkan atau tidak dieksekusi, sebagai “bagaimana unsur politis ada dalam kasus ini, terutama dalam hal membungkam suara pejuang lingkungan,” tulis Walhi Jawa Timur dalam keterangan persnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat dalam lima tahun terakhir terdapat 24 kasus kriminalisasi terhadap 58 aktivis lingkungan di sektor pertambangan.
"Baik yang dilaporkan ke polisi, ditangkap polisi sampai dibawa ke pengadilan,“ kata Juru Kampanye Walhi bidang Tambang dan Energi, Rere Christianto kepada BBC Indonesia, Senin (27/03).
Kasus Budi Pego belum masuk dalam daftar ini.
Namun menurut Rere, jerat pasal untuk aktivis lingkungan bisa bermacam-macam. "Sering kali tidak berkaitan dengan case-nya itu sendiri. Tapi dicarikan cara-cara lain ke mereka. Apa pun bisa jadi perkara,“ katanya.
Contoh lain, kata Rere, kasus penolakan tambang pasir laut di Pulau Kodingareng, Makassar, Sulawesi Selatan pada 2020.
Baca juga: Pakar Hukum Eksaminasi Putusan Kasus Budi Pego, Aktivis yang Dituding Komunis
Sejumlah nelayan dipidana karena menyobek amplop "suap" termasuk uang di dalamnya dari perusahaan. Tuduhannya, menghina mata uang sebagai simbol negara.
“Warga dilaporkan merusak simbol negara dalam hal ini mata uang,” kata Rere.
Kasus lainnya terjadi 2017 di mana tiga warga Indramayu, Jawa Barat, ditangkap dengan tuduhan membentangkan bendera Indonesia terbalik dalam aksi menolak PLTU.
“Meskipun seluruh warga menyatakan bahwa pas pemasangan bendera, mereka yakin tidak terbalik karena mereka tahu model bendera merah-putih, mereka nggak akan pasang terbalik,” tambah Rere.
Namun, jerat yang paling mendominasi adalah Pasal 162 Undang Undang tentang Minerba. Pasal ini menyatakan setiap orang yang dianggap merintangi jalannya aktivitas penambangan, diancam dengan pidana kurungan paling lama setahun dan/atau denda sebesar seratus juta rupiah.
“Sebetulnya pasal ini tidak bisa berdiri sendiri, karena Pasal 162 itu terkait dengan pasal sebelumnya, yang mengatur pelepasan lahan,” kata Rere.
Ia menjelaskan, pasal ini hanya bisa digunakan ketika orang tersebut sudah menyepakati pelepasan lahan kemudian menolak adanya pertambangan.
Baca juga: Komnas HAM Dukung Upaya Hukum Budi Pego, Aktivis yang Dituding Komunis
Aturan ini tertuang dalam Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Namun, menurut Rere, sangat jarang delik ini dijadikan landasan hukum dalam persidangan.
Pernah sekali dimenangkan dalam perkara warga yang digugat secara perdata oleh sebuah hotel karena berjuang melestarikan mata air Umbul Gemulo di Kota Batu, Jawa Timur pada 2014.
"Nah, itu dalam persidangannya, kami menggunakan dalih Pasal 66. Akhirnya memang dibebaskan. Gugatannya ditolak. Tapi ini jarang banget terjadi,“ ungkapnya.
Baca juga: Kecelakaan Ekskavator di Lokasi Tambang Emas Ilegal Manokwari, 2 Tewas
Persoalannya, lanjut Rere, belum ada panduan teknis yang dibuat oleh pemerintah dalam penanganan perkara terkait perlindungan aktivis lingkungan dari Pasal 66 tersebut.
"Kemen-LHK [kementerian lingkungan hidup dan kehutahan] belum membuat mekanisme di mereka sendiri…
Kalau ini menyangkut upaya untuk pembungkaman kasus-kasus publik, nilainya seperti apa, dan mekanismenya seperti apa harus dijalankan,“ katanya.
Dampak buruk ketika terjadi pembiaran terhadap kriminalisasi aktivis lingkungan akan menurunkan tingkat partisipasi publik dalam pembangunan nasional. "Publik semakin takut,“ kata Rere.
"Semakin rendah partisipasi publik, semakin rendah juga indeks demokrasi kita. Makin kuat negara memainkan berbagai macam alat di dalam regulasi kita, semakin otoritarian suatu negara,” tambahnya.
BBC Indonesia telah menghubungi Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, namun sampai berita ini diturunkan belum mendapat respon.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.