Salin Artikel

Menyoal Penangkapan Lagi Aktvis Lingkungan Budi Pego yang Tolak Tambang Emas di Banyuwangi

Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan, pihaknya akan mencermati permintaan Komnas HAM agar Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada aktivis lingkungan, Budi Budiawan alias Budi Pego, yang ditangkap Jumat (24/3/2023).

Budi Pego akan menjalani masa tahanan empat tahun sesuai keputusan kasasi Mahkamah Agung pada 2018.

Penangkapan Budi ini diprotes kalangan pegiat hak asasi manusia (HAM), karena dianggap membungkam suara kritis terhadap persoalan lingkungan.

Saat ini, petani yang menolak rencana pembangunan tambang emas di Desa Sumberagung, Banyuwangi, Jawa Timur disebut dalam kondisi “sehat” di Lapas Banyuwangi.

Budi Pego akan menjalani masa tahanan empat tahun sesuai keputusan kasasi Mahkamah Agung pada 2018.

Rekan sejawatnya mengatakan sebelum penangkapan Budi Pego sempat terjadi teror.

LSM Walhi menilai kasus Budi Pego menjadi gambaran umum aktivis lingkungan mudah sekali dijerat hukum, padahal mereka dilindungi Undang Undang.

“Kriminalisasi” aktivis lingkungan menjadi jalan membungkam suara masyarakat, dan menguatkan otoritarianisme, kata pegiat lingkungan.

"Kami cermati," katanya dalam pesan tertulis kepada BBC News Indonesia, Senin (27/3/2023).

Prof. Ruhaini tidak menjawab secara rinci, bahwa "Secara prinsip siapapun dapat mengajukan amnesti kepada Presiden dan menjadi hak prerogatif Presiden untuk memberikan atau menolaknya."

Sebelumnya, Komnas HAM mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberikan pengampunan hukuman kepada Budi Pego.

Petani asal Desa Sumberagung ditangkap pekan lalu, karena tuduhan menyebarkan paham komunisme.

"Budi Pego sendiri tidak memahami apa itu Marxisme, Komunisme dan Leninisme...

Budi Pego adalah mantan seorang pekerja migran Indonesia di Arab Saudi yang juga taat beribadah dan anggota Perguruan Pencak Silat Pagar Nusa yang merupakan Perguruan Silat di bawah Nahdlatul Ulama," kata Komisioner Pengaduan Komnas HAM, Hari Kurniawan dalam siaran persnya, Minggu (26/3/2023).

Kasus ini berawal enam tahun lalu, saat Budi Pego dan puluhan warga di Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur menggelar demonstrasi menolak tambang emas di wilayahnya.

"Namun, nahasnya di tengah-tengah aksi pemasangan spanduk, ada spanduk sisipan berlogo Palu Arit yang secara nyata spanduk itu tidak dibuat oleh warga.

Padahal ketika warga membuat puluhan spanduk di awasi oleh Babinmas dan Babinkamtibmas Kecamatan Pesanggaran," tambah Heri.

Dari sejumlah keterangan warga dan pendamping hukum, barang bukti spanduk berlogo Palu Arit tak pernah dihadirkan dalam persidangan, termasuk orang-orang yang membentangkannya.

Dalam proses persidangan hingga tingkat kasasi, Mahkamah Agung memvonis Budi Pego empat tahun penjara.

Dari kacamata Komnas HAM, Budi Pego adalah seorang aktivis lingkungan yang semestinya mendapat perlindungan hukum.

Komnas HAM menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Perlindungan Pembela HAM melalui Peraturan Komnas HAM Nomor 4 Tahun 2021, serta pernah menerbitkan surat perlindungan untuk Budi sebagai human rights defender pada 2018.

Perlindungan untuk aktivis lingkungan

Masih dari keterangan Komnas HAM, Budi Pego sebagai aktivis lingkungan memperoleh perlindungan dari sejumlah ketentuan:

  • Pasal 1 Deklarasi Pembela HAM: “Setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan yang lain, untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan international.”
  • UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, di mana telah secara khusus dan eksplisit disebutkan berbagai hak pembela HAM yang wajib dihormati, dilindungi dan dijamin pelaksanaannya.
  • Pasal 100 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia mempertegas tentang hak partisipasi Budi Pego sebagai Pembela HAM yang berbunyi, “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia”.
  • Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

Dengan dasar ini, Komnas HAM kemudian mengambil sikap meminta Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada Budi Pego dalam kasus Tolak Tambang Emas Tumpang Pitu.

"Mendesak agar proses hukum termasuk di tingkat pengadilan yang lebih tinggi (apabila nanti dilakukan upaya hukum Peninjauan Kembali) dapat dilakukan secara independen, imparsial, transparan, dan adil sesuai dengan prinsip-prinsip HAM," tambah Hari.

Izin produksi tambang emas ini mencakup sektar 11.000 hektar di kawasan Gunung Tumpang Pitu, dan kontraknya berakhir 2030.

Rumah Budi Pego dan 53.373 orang di Kecamatan Pesanggaran diduga terdampak aktivitas tambang tersebut.

Walhi pernah mencatat terjadi banjir besar yang berasal dari Gunung Tumpang Pitu pada 2016, akibat pembabatan hutan yang semula berstatus lindung menjadi hutan produksi.

"Secara tidak langsung mengancam keberlangsungan ekosistem, terutama Taman Nasional Meru Betiri," dalam laporan Walhi.

Kekhawatiran dampak lingkungan terhadap masa depan warga ini yang memicu Budi Pego dan sebagian warga melakukan rangkaian aksi unjuk rasa, dan 4 April 2017 menandai dimulainya kasus ini.

4 April 2017

  • Budi Pego berunjuk rasa bersama sebagian warga menolak tambang emas di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi. Aksi ini disusupi spanduk berlogo Palu Arit.

13 Mei 2017

  • Budi Pego dan tiga rekannya ditetapkan sebagai tersangka penyebar ajaran komunisme, marxisme-leninisme di muka umum. Ia dijerat pasal 170a KUHP tentang kejahatan terhadap keamanan negara.

23 Januari 2018

  • Pengadilan Negeri Banyuwangi memvonis Budi Pego selama 10 bulan penjara.

14 Maret 2018

  • Pengadilan Tinggi Jawa Timur tetap menghukum Budi Pego selama 10 bulan penjara atas banding yang diajukan jaksa.

16 Oktober 2018

  • Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi pihak Budi Pego, dan mengubah putusan menjadi empat tahun penjara.

2018 – 2022

  • Eksekusi penjara tidak dilaksanakan.

24 Maret 2023

  • Budi Pego ditangkap atas dasar putusan MA.

26 Maret 2023

“’Bapaknya mana ndhuk (panggilan anak kecil perempuan-Jawa)?’ Dibilang 'masih cari pakan ternak‘,“ kata Nur Hidayat yang mengumpulkan informasi terkait penangkapan Budi Pego.

Nur Hidayat adalah rekan Budi Pego yang ikut terlibat bertahun-tahun menolak tambang emas di Gunung Tumpang Pitu. Nur Hidayat juga menjabat juru bicara MASLAMET [Masyarakat Salakan Menolak Tambang].

Pukul lima sore, Budi Pego tiba di rumah dengan pakan ternaknya.

“Saat Mas Budi datang, dari Barat itu sudah ada yang lari ke belakang rumah Mas Budi, modelnya ditapal kuda. Dikepung,“ kata Nur Hidayat yang mengatakan sekitar 20 orang terlibat penangkapan “pakai pakaian preman semua.”

Budi Pego sempat menanyakan dasar penangkapannya saat itu. Namun, surat penangkapan hanya ditunjukkan sekilas, kata Nur Hidayat.

Beberapa hari sebelumnya, ia juga mengatakan terjadi teror berupa upaya pengrusakan spanduk penolakan tambang emas yang terpasang di rumah Budi Pego.

Pelakunya diperkirakan berjumlah sembilan orang, dan melarikan diri setelah aksinya diketahui Budi Pego.

“Di depan rumah Mas Budi itu kan sudah ada banner penolakan yang sudah dipasang lama. Bertahun-tahun. Kalau rusak diganti sama Mas Budi. Terus begitu,” kata Nur Hidayat.

Sejauh ini, kondisi Budi Pego dipenjara disebut Nur Hidayat, "sehat”.

Keluarga menjenguk dan meminta surat perintah penahan dan salinan putusan kasasi dari Mahkamah Agung.

“Untuk surat perintah penahanan diberikan ke keluarganya. Untuk surat salinan kasasinya itu tidak diberikan. Sampai hari ini keluarga dan tim hukum belum mendapat salinan [keputusan MA] resminya,” kata Nur Hidayat.

Dalam amar putusannya pada Oktober 2018, Hakim Ketua Surya Jaya dengan anggotanya H. Margono, dan Maruap Dohmatiga Pasaribu menolak kasasi yang diajukan pihak Budi Pego.

Bagaimana pun, Walhi Jawa Timur, menilai langkah penahanan Budi Pego setelah empat tahun dibiarkan atau tidak dieksekusi, sebagai “bagaimana unsur politis ada dalam kasus ini, terutama dalam hal membungkam suara pejuang lingkungan,” tulis Walhi Jawa Timur dalam keterangan persnya.

"Baik yang dilaporkan ke polisi, ditangkap polisi sampai dibawa ke pengadilan,“ kata Juru Kampanye Walhi bidang Tambang dan Energi, Rere Christianto kepada BBC Indonesia, Senin (27/03).

Kasus Budi Pego belum masuk dalam daftar ini.

Namun menurut Rere, jerat pasal untuk aktivis lingkungan bisa bermacam-macam. "Sering kali tidak berkaitan dengan case-nya itu sendiri. Tapi dicarikan cara-cara lain ke mereka. Apa pun bisa jadi perkara,“ katanya.

Contoh lain, kata Rere, kasus penolakan tambang pasir laut di Pulau Kodingareng, Makassar, Sulawesi Selatan pada 2020.

Sejumlah nelayan dipidana karena menyobek amplop "suap" termasuk uang di dalamnya dari perusahaan. Tuduhannya, menghina mata uang sebagai simbol negara.

“Warga dilaporkan merusak simbol negara dalam hal ini mata uang,” kata Rere.

Kasus lainnya terjadi 2017 di mana tiga warga Indramayu, Jawa Barat, ditangkap dengan tuduhan membentangkan bendera Indonesia terbalik dalam aksi menolak PLTU.

“Meskipun seluruh warga menyatakan bahwa pas pemasangan bendera, mereka yakin tidak terbalik karena mereka tahu model bendera merah-putih, mereka nggak akan pasang terbalik,” tambah Rere.

Jerat merintangi operasi pertambangan

Namun, jerat yang paling mendominasi adalah Pasal 162 Undang Undang tentang Minerba. Pasal ini menyatakan setiap orang yang dianggap merintangi jalannya aktivitas penambangan, diancam dengan pidana kurungan paling lama setahun dan/atau denda sebesar seratus juta rupiah.

“Sebetulnya pasal ini tidak bisa berdiri sendiri, karena Pasal 162 itu terkait dengan pasal sebelumnya, yang mengatur pelepasan lahan,” kata Rere.

Ia menjelaskan, pasal ini hanya bisa digunakan ketika orang tersebut sudah menyepakati pelepasan lahan kemudian menolak adanya pertambangan.

Aturan ini tertuang dalam Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun, menurut Rere, sangat jarang delik ini dijadikan landasan hukum dalam persidangan.

Pernah sekali dimenangkan dalam perkara warga yang digugat secara perdata oleh sebuah hotel karena berjuang melestarikan mata air Umbul Gemulo di Kota Batu, Jawa Timur pada 2014.

"Nah, itu dalam persidangannya, kami menggunakan dalih Pasal 66. Akhirnya memang dibebaskan. Gugatannya ditolak. Tapi ini jarang banget terjadi,“ ungkapnya.

Persoalannya, lanjut Rere, belum ada panduan teknis yang dibuat oleh pemerintah dalam penanganan perkara terkait perlindungan aktivis lingkungan dari Pasal 66 tersebut.

"Kemen-LHK [kementerian lingkungan hidup dan kehutahan] belum membuat mekanisme di mereka sendiri…

Kalau ini menyangkut upaya untuk pembungkaman kasus-kasus publik, nilainya seperti apa, dan mekanismenya seperti apa harus dijalankan,“ katanya.

Dampak buruk ketika terjadi pembiaran terhadap kriminalisasi aktivis lingkungan akan menurunkan tingkat partisipasi publik dalam pembangunan nasional. "Publik semakin takut,“ kata Rere.

"Semakin rendah partisipasi publik, semakin rendah juga indeks demokrasi kita. Makin kuat negara memainkan berbagai macam alat di dalam regulasi kita, semakin otoritarian suatu negara,” tambahnya.

BBC Indonesia telah menghubungi Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, namun sampai berita ini diturunkan belum mendapat respon.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/03/30/060700878/menyoal-penangkapan-lagi-aktvis-lingkungan-budi-pego-yang-tolak-tambang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke