MALANG, KOMPAS.com- Elmiati menatap Rudi Harianto yang mendekap erat anak balita mereka, M Firdi Prayogo (3) di tribune 13 Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, Sabtu (1/10/2022).
"Ayo pulang aja, selak adik keno gas (keburu adik terkena gas)," demikian kata-kata Rudi saat itu yang ditirukan kembali oleh istrinya, Elmiati, Senin (3/10/2022), seperti dikutip dari Surya.co.id.
Baca juga: Kisah Mereka yang Pulang dari Stadion Kanjuruhan Malang...
Dari tempat itu, Elmiati dan keluarganya menyaksikan sejumlah penonton berupaya menaiki pagar pembatas tribune. Ribuan orang nekat merangsek masuk ke lapangan.
Sejumlah aparat yang semula bersiaga di sudut-sudut area stadion mulai mengejar para suporter. Kekisruhan terjadi di tengah lapangan.
Lantaran membawa anak balita, saat itu Elmiati dan suaminya memutuskan, mereka harus segera keluar secepatnya.
Baca juga: Tugas Terakhir Briptu Yoyok di Stadion Kanjuruhan Malang...
Namun baru saja hendak beranjak, tiba-tiba asap tebal dari lontaran gas air mata membumbung.
"Iya (gas air mata) ke arah tribune. Lontaran itu masuk ke kerumunan penonton," tutur Elimiati yang kehilangan suami dan anak balitanya sekaligus dalam tragedi memilukan itu.
Baca juga: Kapolres Malang dan 9 Komandan Brimob Dicopot, Buntut Tragedi Stadion Kanjuruhan
Ketiganya cepat-cepat menyusuri tangga tribune untuk mencari pintu keluar. Anak balita Elmiati ketika itu masi berada dalam dekapan sang ayah.
Celakanya di tangga, ratusan orang sudah berjejal. Ketiganya terdorong oleh ratusan orang lainnya yang berdesak-desakan di belakang mereka.
Pada saat itu lah, pandangan mata Elmiati tak lagi bisa melihat posisi suami dan anaknya.
Dalam keadaan tergencet di antara tubuh ratusan orang, Elmiati sudah pasrah.
"Saya sudah pasrah kalau nanti ikut meninggal, saya meninggal dengan suami dan anak saya, pikiran saya cuma begitu," kata dia dengan mata berkaca-kaca.
"Itu orang-orang masih teriak-teriak. Ada yang keluar busa, ada yang sekarat, saya lihat sendiri," lanjutnya.
Baca juga: 9 Komandan Brimob Dicopot Usai Tragedi Kanjuruhan Tewaskan 125 Orang, Siapa Saja?
Elmiati selamat setelah tubuhnya ditarik oleh orang lain menjauhi kerumunan.
Tiga jam setelah kejadian mengerikan itu, Elmiati mendapati buah hatinya terbujur kaku di salah satu lorong kamar mayat RSUD Kanjuruhan Malang.
Sejam berselang, jasad suaminya ditemukan di kamar mayat RS Wava.
Baca juga: Cerita Asisten Pelatih Persebaya, Tertahan di Kanjuruhan, Tegang Saat Diangkut Rantis
Slamet Sanjoko, Aremania Korwil Batur menuturkan kembali detik-detik tragedi yang membuat 125 nyawa melayang.
Menurutnya, laga Arema FC dan Persebaya berlangsung kondusif sampai terjadi gejolak sesaat setelah wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan, sekitar pukul 22.00 WIB.
Sebelum ribuan suporter masuk ke dalam lapangan, ada dua orang yang meminta untuk berfoto bersama pemain.
Baca juga: Sukardi Mengaku Tak Bisa Tidur pada Malam Saat Putrinya Tewas di Stadion Kanjuruhan
"Awalnya ada dua orang yang mau berfoto setelah pertandingan bersama pemain Arema FC. Kami sudah menyampaikan ke petugas untuk tidak memberikan izin," katanya, seperti dilansir Antara.
Namun dua suporter tersebut kemudian diizinkan karena terus-menerus membujuk.
Dua orang tersebut menghampiri pemain Arema FC yang ketika itu masih di dalam lapangan.
Dia menduga, keduanya juga meminta pemain memohon maaf pada suporter atas kekalahan tim berjuluk Singo Edan tersebut.
"Dua anak itu yang akan berfoto mendekat ke pemain Arema FC," kata dia.
Tak lama, ribuan orang lainnya menyusul masuk ke lapangan hingga terjadi kerusuhan.
Slamet dan rekan-rekannya segera mengemasi bendera yang mereka bawa dan mencari jalan keluar setelah melihat potensi situasi tak terkendali.
Namun tiba-tiba tembakan gas air mata mengarah ke tribune penonton.
"Kalau (tembakan gas air mata) yang masuk ke lapangan mungkin masih bisa kami terima karena memang melanggar batas area. Tetapi, kenapa yang di tribune? Salah apa ditembak gas air mata?" kata dia.
Ribuan penonton di tribune pun berdesak-desakan, ada yang terjatuh dari tribune, terinjak-injak, hingga 125 orang meninggal dunia.
Riyan Dwi Cahyono (22) masih terbaring di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kanjuruhan. Dia mengalami patah tulang kanan akibat terinjak-injak dalam insiden tragedi Kanjuruhan.
Saat itu, Riyan memang berniat ikut turun ke lapangan setelah kekalahan Arema.
"Kami turun tujuannya memang untuk protes kepada pemain dan manajemen Arema FC, kenapa bisa kalah? Padahal selama 23 tahun sejarahnya Arema FC tidak pernah kalah melawan Persebaya di kandang Singo Edan," kata dia.
Baca juga: Aremania dan Bonek Lombok Doa Bersama untuk Korban Tragedi Kanjuruhan
Akan tetapi, belum sampai melompati pagar, tembakan gas air mata datang ke arahnya di tribune sebelah timur.
Riyan jatuh dan terinjak-injak oleh suporter lain yang berebut turun dari tribune.
"Saat itu saya tidak berdaya. Bahkan teman perempuan saya yang bareng bersama saya dari Blitar hilang dan belum tahu bagaimana kondisinya saat ini," katanya.
Dada Riyan seketika merasa sesak. Dia sulit bernapas.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan, 28 Polisi Diperiksa Propam Terkait Dugaan Pelanggaran Etik
Dalam kondisi itu, dia melihat sejumlah petugas keamanan memukul suporter.
"Kami kecewa dengan perlakuan petugas keamanan. Kami juga dipukul, ditendang oleh petugas," ungkapnya.
Doni, warga Kota Malang berada di tribune 14 bersama anak lelakinya yang berusia 10 tahun saat pertandingan Arema dan Persebaya berlangsung.
Dia menonton laga bersama puluhan warga dari wilayah RT-nya. Termasuk dengan keluarga adiknya.
Sekitar pukul 22.00 WIB, sorak-sorai penonton berubah menjadi jerit dan tangis setelah ribuan suporter turun ke lapangan dan polisi menghalau dengan gas air mata.
"Awalya gas air mata di lapangan dulu. Kemudian (ditembak) ke arah tribune pintu 12. Saya sama yang lainnya di pintu 14, gas air matanya kena angin kan jadi nyebar," tutur Doni.
Baca juga: Kisah Mereka yang Pulang dari Stadion Kanjuruhan Malang...
Seketika yang ada di pikirannya adalah menyelamatkan anaknya dan segera keluar dari stadion.
"Anak saya laki masih 10 tahun sama yang perempuan tetangga umurnya hampir sama. Anak saya. saya tolong sampai buka pembatas tribune yang di samping-samping," kata dia.
Dalam situasi terjepit dan saling berdesak-desakan, Doni bisa membawa anaknya keluar.
Namun sesampainya di luar stadion, M Alfiansyah (11) keponakannya, berlari menghampiri dengan wajah pucat.
Keponakannya tersebut kehilangan dua orangtua sekaligus yakni M Yulianton (40) dan Devi Ratna S (30). Mereka meninggal dunia dan dikuburkan dalam satu liang lahat.
Baca juga: Pengalaman Pilu Javier Roca di Ruang Ganti Selama Kerusuhan Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan Malang menelan ratusan korban jiwa. Sebanyak 125 orang tewas dalam peristiwa tersebut. Peristiwa ini menjadi sejarah kelam dunia sepak bola di Indonesia.
Penggunaan gas air mata disebut-sebut memperparah kondisi kerusuhan. Ribuan suporter berebut untuk keluar dari stadion, berdesak-desakan, dan terinjak-injak.
Buntut dari peristiwa tersebut, Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat dicopot dari jabatannya.
Tak hanya itu, Kapolri juga memerintahkan Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta menonaktifkan jabatan 9 orang komandan Brimob yang terdiri Komandan Batalyon, Komandan Kompi, dan Komandan Peleton Brimob Polda Jawa timur.
Sumber: Kompas.com (Penulis: Imron Hakiki, Nugraha | Editor: Khairina, Andi Hartik, Pythag Kurniati)
Artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul Pilu Ibu Muda di Malang, Suami dan Anak Balitanya Jadi Korban Meninggal Tragedi Stadion Kanjuruhan
Antara