Patah tulang kanan usai terinjak-injak
Riyan Dwi Cahyono (22) masih terbaring di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kanjuruhan. Dia mengalami patah tulang kanan akibat terinjak-injak dalam insiden tragedi Kanjuruhan.
Saat itu, Riyan memang berniat ikut turun ke lapangan setelah kekalahan Arema.
"Kami turun tujuannya memang untuk protes kepada pemain dan manajemen Arema FC, kenapa bisa kalah? Padahal selama 23 tahun sejarahnya Arema FC tidak pernah kalah melawan Persebaya di kandang Singo Edan," kata dia.
Baca juga: Aremania dan Bonek Lombok Doa Bersama untuk Korban Tragedi Kanjuruhan
Akan tetapi, belum sampai melompati pagar, tembakan gas air mata datang ke arahnya di tribune sebelah timur.
Riyan jatuh dan terinjak-injak oleh suporter lain yang berebut turun dari tribune.
"Saat itu saya tidak berdaya. Bahkan teman perempuan saya yang bareng bersama saya dari Blitar hilang dan belum tahu bagaimana kondisinya saat ini," katanya.
Dada Riyan seketika merasa sesak. Dia sulit bernapas.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan, 28 Polisi Diperiksa Propam Terkait Dugaan Pelanggaran Etik
Dalam kondisi itu, dia melihat sejumlah petugas keamanan memukul suporter.
"Kami kecewa dengan perlakuan petugas keamanan. Kami juga dipukul, ditendang oleh petugas," ungkapnya.
Doni, warga Kota Malang berada di tribune 14 bersama anak lelakinya yang berusia 10 tahun saat pertandingan Arema dan Persebaya berlangsung.
Dia menonton laga bersama puluhan warga dari wilayah RT-nya. Termasuk dengan keluarga adiknya.
Sekitar pukul 22.00 WIB, sorak-sorai penonton berubah menjadi jerit dan tangis setelah ribuan suporter turun ke lapangan dan polisi menghalau dengan gas air mata.
"Awalya gas air mata di lapangan dulu. Kemudian (ditembak) ke arah tribune pintu 12. Saya sama yang lainnya di pintu 14, gas air matanya kena angin kan jadi nyebar," tutur Doni.
Baca juga: Kisah Mereka yang Pulang dari Stadion Kanjuruhan Malang...
Seketika yang ada di pikirannya adalah menyelamatkan anaknya dan segera keluar dari stadion.
"Anak saya laki masih 10 tahun sama yang perempuan tetangga umurnya hampir sama. Anak saya. saya tolong sampai buka pembatas tribune yang di samping-samping," kata dia.
Dalam situasi terjepit dan saling berdesak-desakan, Doni bisa membawa anaknya keluar.
Namun sesampainya di luar stadion, M Alfiansyah (11) keponakannya, berlari menghampiri dengan wajah pucat.
Keponakannya tersebut kehilangan dua orangtua sekaligus yakni M Yulianton (40) dan Devi Ratna S (30). Mereka meninggal dunia dan dikuburkan dalam satu liang lahat.
Baca juga: Pengalaman Pilu Javier Roca di Ruang Ganti Selama Kerusuhan Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan Malang menelan ratusan korban jiwa. Sebanyak 125 orang tewas dalam peristiwa tersebut. Peristiwa ini menjadi sejarah kelam dunia sepak bola di Indonesia.
Penggunaan gas air mata disebut-sebut memperparah kondisi kerusuhan. Ribuan suporter berebut untuk keluar dari stadion, berdesak-desakan, dan terinjak-injak.
Buntut dari peristiwa tersebut, Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat dicopot dari jabatannya.
Tak hanya itu, Kapolri juga memerintahkan Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta menonaktifkan jabatan 9 orang komandan Brimob yang terdiri Komandan Batalyon, Komandan Kompi, dan Komandan Peleton Brimob Polda Jawa timur.
Sumber: Kompas.com (Penulis: Imron Hakiki, Nugraha | Editor: Khairina, Andi Hartik, Pythag Kurniati)
Artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul Pilu Ibu Muda di Malang, Suami dan Anak Balitanya Jadi Korban Meninggal Tragedi Stadion Kanjuruhan
Antara