“Kemudian, ACT menghubungi keluarga untuk meminta persetujuan dan keikhlasan. Persetujuan itu bentuk persyaratan dari Boeing. Untuk nominalnya berapa pihak keluarga tidak diberitahu,” kata Wiwik.
Wiwik menuturkan, formulir persetujuan itu dikirim melalui email. Setelah ditandatangani, formulir itu di-scan dalam bentuk PDF lalu dikirim kembali melalui email.
Selanjutnya, pihak ACT datang ke rumah keluarga korban. Mereka menanyakan titik mana saja yang akan diberikan bantuan sosial. Hanya saja, saat itu terbatas dan tidak boleh banyak-banyak.
Baca juga: Polri Duga ACT Selewengkan Dana dari Pihak Selain Boeing
“Tidak boleh minta banyak-banyak. Kalau pun rehab bangunan juga dibatasi. Padahal keluarga menginginkan bantuan yang diberikan benar-benar dapat bermanfaatkan maksimal bagi kepentingan orang banyak. Dengan demikian rehab bangunan pun dapat dilakukan sebaik mungkin,” kata Wiwik.
Saat itu, keluarga menunjuk beberapa titik, di antaranya perbaikan plafon masjid, sekolah, pondok hingga mushala. Lokasinya pun tidak jauh dari tempat tinggal keluarga korban.
“Lokasi harus dekat dari rumah maksimal jarak satu kilometer,” kata Wiwik.
Baca juga: Dari ACT, Bareskrim Sita 44 Mobil dan 12 Motor Terkait Kasus Penyelewengan Dana
Menurut Wiwik, sebenarnya ia curiga sejak awal karena ACT tidak menyebut jumlah bantuan sosial bagi keluarga korban jatuhnya pesawat Lion 610 dari Boeing. Namun, ACT selalu berdalih hanya membutuhkan keikhlasan keluarga untuk penyaluran dana.
Keluarga sudah menduga dana yang diberikan dari Boeing tidak sedikit. Terlebih dana itu digunakan tidak hanya untuk di wilayah Kabupaten Madiun saja.
“Katanya dananya itu juga digunakan untuk membantu pendidikan di pelosok-pelosok,” kata Wiwik.
Terhadap dugaan penyelewengan dana bantuan sosial korban jatuhnya pesawat Lion Air, Wiwik mengaku kecewa sekali. Apalagi, dana bantuan sosial itu merupakan amanah dari para korban yang meninggal akibat kecelakaan pesawat tersebut.
“Semua keluarga kecewa. Kami minta polisi usut tuntas. Soalnya itu amanah,” jelas Wiwik.