Thoriq menjelaskan, daerah lain seperti Desa Supiturang di Kecamatan Pronojiwo yang juga memiliki pertambangan pasir sama dengan Sumberwuluh tidak dianggap sebagai human error oleh beberapa warga yang menyampaikan tuntutan.
Padahal menurutnya, di sana juga terdapat aktivitas pertambangan yang memiliki izin dan membuat tanggul yang sama, bahkan menggunakan alat berat yang sama.
"Saya tanya yang human error ini di mana, apakah di Sumberwuluh saja apa Supiturang juga, jawabannya hanya di Sumberwuluh. Nah, ini kan ada argumentasi yang sektoral, ya enggak apa-apa namanya berpikir silakan. Berarti menurut saya ini ada hal yang belum tuntas antara pola pikir dan fakta," jelasnya.
Baca juga: Pangat Jalan Kaki dari Lumajang ke Jakarta untuk Temui Presiden Jokowi
Soal anggapan bahwa aktivitas pertambangan itu mencemari lingkungan, Thoriq meminta masyarakat mengajukan gugatan ke pengadilan.
"Soal pencemaran lingkungan sama sebenarnya, kalau posisinya mereka menambang dengan cara yang tidak benar bisa kok diajukan sebagai pelanggaran lingkungan di pengadilan dan itu sanksinya berat," pungkasnya.
Seperti diketahui, sebanyak tiga orang warga Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, nekat berjalan kaki dari Lumajang ke Jakarta untuk bertemu Presiden Joko Widodo.
Aksi jalan kaki yang dilakukan Pangat (52), Nur Kholik (41), dan Masbud (36), itu dilatarbelakangi oleh masalah pertambangan pasir di Desa Sumberwuluh.
Mereka menganggap ada human error dan perusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan pasir. Hal itu disebut sebagai penyebab desanya terpendam material pasir saat Gunung Semeru erupsi pada awal Desember 2021.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.