SURABAYA, KOMPAS.com - Mufatiroh (49) menceritakan tantangannya setelah puluhan tahun mengajar di SMP reguler hingga akhirnya tugas mengharuskannya pindah ke Sekolah Rakyat.
Dengan setelan kerudung hijau, dipadukan kemeja putih dan bawahan hitam, Mufatiroh menyapa puluhan muridnya yang baru saja menyelesaikan kelasnya di Sekolah Rakyat 21 Surabaya.
Kebiasaan Mufatiroh itu sudah dijalaninya setelah resmi menjadi guru agama di Sekolah Rakyat, sejak Senin (14/7/2025) lalu. Dia diwajibkan mengajar di sana karena status pegawai negeri sipil (PNS).
"Saya enggak mengajukan, guru agama itu ditunjuk dari kabupaten/kota masing-masing, diajukan ke provinsi baru ke Kemenag pusat," kata Mufatiroh, di Sekolah Rakyat 21 Surabaya, Kamis (16/10/2025).
Baca juga: Di Tengah Keterbatasan Ekonomi, Orang Tua Gantungkan Cita-cita Anak ke Sekolah Rakyat di Pamekasan
Sejak saat itu, kehidupan Mufatiroh sebagai pengajar selama 28 tahun berubah 180 derajat. Sebab, tipikal murid di lembaga pendidikan sebelumnya berbeda dengan Sekolah Rakyat.
"Perbedaan yang pertama, kan dulu saya dari jenjang SMP kalau ini kan tingkatan SMA kelas 10, jadi kalau dari sisi umur mereka lebih dewasa. Kebiasaannya juga berbeda," ucapnya.
Kemudian, kata Mufatiroh, ia merasakan perbedaan perilaku para anak yang belajar di Sekolah Rakyat. Salah satu yang menonjol yakni cara siswa dalam mengekspresikan dirinya.
"Kayak ada yang langsung bilang 'Bu saya tidak bisa membaca Al Quran', saya katakan 'Ibu lebih menghargai ketika kamu sudah berusaha, yang ibu tidak suka kamu tidak berusaha'," katanya.
Akhirnya, Mufatiroh mengubah pola pikirnya dalam memandang para siswa di Sekolah Rakyat yang berlokasi di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu. Ia kini lebih melihat mereka sebagai anak.
"Kita membangun mindset (pola pikir) kalau ini anak, ini amanah. Kalau di sekolah reguler itu dari seribu anak hanya 1 sampai 2 yang begini, tapi di sini 100 anak dikumpulkan jadi 1," ujarnya.
Mufatiroh juga menjadi lebih memikirkan kesiapan dirinya sebelum mengajar di Sekolah Rakyat. Sebab, menurutnya, hal tersebut bisa mempengaruhi proses belajar.
"Kami harus membangun kesiapan diri dulu, baik kesiapan mental dan fisik, kalau dari guru sudah siap diri secara maksimal, tidak membawa permasalahan apa pun, nanti melihat anak itu bisa ceria, pokoknya ini anak, ini anak harus sukses kelak," katanya.
Baca juga: Tantangan Sekolah Rakyat Sumenep, Ditinggal Puluhan Siswa dan Alat Belajar Masih Kosong
Dengan demikian, Mufatiroh berharap, Presiden Prabowo Subianto melanjutkan Sekolah Rakyat. Sebab, masih banyak siswa kurang beruntung uang berharap program tersebut.
"Awalnya saya kaget, dengan cara bersuara, sikapnya, sekarang sudah banyak berubah, dari enggak bisa sama sekali sekarang bisa baca Al Quran. Pokoknya terus dimotivasi dan dibangun kepercayaan diri siswa" kata dia.
Sekolah Rakyat 21 sendiri sudah berjalan selama 3 bulan, dengan jumlah siswa 99 orang. Bangunan tempat belajar dan asramanya berada di kompleks Kampus Unesa.
Menurut Mufatiroh, masing-masing guru sekolah rakyat dibekali laptop.
"Tapi proyektornya Minggu kemarin datang, bertahap ini. Kalau fasilitas biasanya bersurat melalui bendahara, kepala sekolah, ke biro umum," ucapnya.
"Pengajuan sarana prasarana, ini ada printer baru juga, dulu belum ada printer atau proyektor punya guru dibawa," kata dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang