KEDIRI, KOMPAS.com - AFY (19), seorang pelajar madrasah asal Kabupaten Nganjuk, ditangkap polisi Kota Kediri, Jawa Timur, atas dugaan keterlibatannya dalam unjuk rasa yang berakhir ricuh pada akhir Agustus 2025.
Pihak keluarga menegaskan bahwa karakter AFY jauh dari kesan sebagai pelanggar hukum.
Ibu AFY, Imroatun (51), menjelaskan bahwa anaknya yang kini duduk di kelas 12 tersebut dikenal sebagai sosok yang patuh dan menghormati orang tua.
“Anaknya itu patuh dan tawadhu (rendah hati) kepada orang tua. Bahkan bahasa kesehariannya ke saya juga pakai kromo Inggil (bahasa Jawa halus),” ujarnya saat ditemui Kompas.com pada Rabu (24/9/2024).
Imroatun menambahkan bahwa AFY merupakan siswa di sebuah madrasah aliyah dan memiliki hobi membaca serta menulis.
Ia mengungkapkan bahwa anaknya sering menghabiskan hampir Rp 500.000 untuk membeli buku.
“Rumah saya kan pinggir sawah. Anak saya itu sukanya baca bukunya ya di deket-deket sawah sambil melihat lahan padi saja,” lanjutnya.
AFY juga aktif mengirimkan artikel ke berbagai penerbit dan selalu meminta ibunya membaca tulisan-tulisannya sebelum dikirim.
“Dia kan suka nulis dan artikelnya banyak dikirim ke penerbit,” ungkap Imroatun.
Ia menilai bahwa tuduhan polisi yang menyebut anaknya terlibat dalam unjuk rasa dan berperan sebagai penghasut sangat tidak relevan dengan karakter AFY.
“Makanya tuduhan itu sangat tidak masuk akal dan tidak relevan dengan keseharian anak saya,” tegasnya.
Baca juga: LBH Kritik Penangkapan Pelajar Nganjuk yang Diduga Menghasut Kerusuhan di Kediri
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Advokasi Publik (LBH AP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Nganjuk, Anang Hartoyo, mengungkapkan bahwa proses hukum yang dihadapi AFY menyimpang dari aturan hukum acara pidana.
Menurutnya, AFY datang ke Mapolres Kediri secara sukarela sebagai saksi, namun dipulangkan sebagai tersangka dan langsung ditahan.
“Ini bentuk penangkapan terselubung yang melanggar KUHAP,” ujar Anang Hartoyo yang bertindak sebagai kuasa hukum AFY.
AFY dijerat dengan Pasal 28 ayat (3) jo Pasal 45A ayat (3) Undang-undang Transaksi Elektronik (ITE), yang seharusnya digunakan untuk mencegah ujaran kebencian berbasis SARA.