LUMAJANG, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lumajang Henariza Febriadmadja membantah petugas pemutakhiran data pemilih (Pantarlih) menggunakan aplikasi E-Coklit milik KPU untuk survei elektabilitas bakal calon bupati.
Sebelumnya diberitakan, oknum Panitia Pemungutan Suara (PPS) Desa Nguter, Kecamatan Pasirian, memerintahkan petugas pantarlih untuk melakukan coklit data pemilih sambil survei elektabilitas bacabup Lumajang.
Hal ini terungkap setelah obrolan grup WhatsApp Pantarlih 2024 di Desa Nguter tersebar di berbagai media sosial.
Baca juga: 15 Orang Diperiksa Buntut Coklit Sambil Survei Elektabilitas Bacabup di Lumajang
Bahkan, KPU Kabupaten Lumajang telah membenarkan adanya oknum nakal badan adhoc yang melakukan proses coklit tidak sesuai aturan.
Menurut Febri, modus yang dilakukan petugas Pantarlih saat nyoklit sambil survei menggunakan Google Form tidak menggunakan aplikasi E-Coklit.
Baca juga: Oknum PPS di Lumajang Perintahkan Pantarlih Coklit Sambil Survei Elektabilitas Bacabup
Sehingga, proses input dilakukan petugas sebanyak dua kali. Pertama, data pemilih di-input di aplikasi E-Coklit dan kemudian di-input ulang di Google Form.
Bahkan, Febri menyebut, proses surveinya menggunakan lembaga lain yang disisipkan ke sela-sela kegiatan pantarlih.
"Pakai Google Form, kalau E-Coklit kan punya sendiri kita, kalau lembaga survei itu ada Google Formnya, istilahnya kalau orang Jawa itu nyambi," terang Febri.
Namun, dalam tangkapan layar percakapan grup pantarlih yang tersebar, terdapat pesan yang dikirimkan salah satu PPS menunjukkan gambar yang diduga aplikasi E-Coklit milik KPU.
Penelusuran Kompas.com, gambar yang ada pada pesan tersebut memiliki tampilan latar belakarang hitam dan kolom-kolom bergaris putih, mirip dengan aplikasi E-Coklit.
Bahkan, kode 1-6 yang digunakan pantarlih untuk menuliskan pilihan responden saat pilkada seperti yang diperintahkan PPS juga sama dengan yang ada di aplikasi E-Coklit.
Sebagai informasi, PPS menggunakan kode 1-6 dengan keterangan sebagai berikut. Kode 1 menandakan memilih Cak Thoriq, kode 2 memilih Bunda Indah, kode 3 piliha lain, kode 4 berarti belum menentukan pilihan, kode 5 artinya menunggu serangan fajar, dan kode 6 berarti rahasia.
Sedangkan, pada aplikasi E-Coklit milik KPU, angka 1-6 digunakan untuk menuliskan keterangan disabilitas pemilih.
Angka 1 menandakan disabilitas fisik, angka 2 disabilitas intelektual, angka 3 disabilitas mental, angka 4 disabilitas sensorik wicara, angka 5 disabilitas sensorik rungu, dan angka 6 disabilitas sensorik netra.
Salah satu petugas pemungutan suara (PPS) berinisial N di Kabupaten Lumajang mengatakan, penyalahgunaan kolom disabilitas pada E-Coklit sebagai sarana menghimpun data elektabilitas tidak berpengaruh pada surat suara yang nantinya akan dicoblos pemilih saat pilkada berlangsung.
Menurutnya, meski pemilih merupakan disabilitas, surat suara yang disediakan sama dengan pemilih normal.
"Risikonya kalau memang itu jadi sarana melihat elektabilitas, pasti akan dicek oleh pengawas pemilihan tingkat desa atau kelurahan langsung ke warga dan bisa jadi temuan kalau ternyata yang bersangkutan bukan penyandang disabilitas," jelasnya.
Hal ini senada dengan keterangan Divisi Hukum dan Penindakan Bawaslu Lumajang Mudawiyah yang menyebut, kasus coklit sambil survei merupakan temuan Panwascam.
"Ini temuan dari Panwascam dan sudah dilaporkan ke kita, sekarang sedang proses klarifikasi dan kajian, kita lihat nanti ini melanggar administrasi, etik, atau bahkan pidana," terang Mudawiyah.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang