PAMEKASAN, KOMPAS.com - Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengembalikan draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang diusulkan oleh Komisi I DPR RI.
Draf itu akan dikembalikan karena banyaknya kontroversi di masyarakat, terutama dari media massa.
Baca juga: Megawati Kritik Revisi UU MK dan Penyiaran di Hadapan Puan
Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi, mengatakan, draf revisi RUU Penyiaran pertama kali dibahas bersama dengan Komisi I DPR dalam rapat tanggal 27 Maret 2024.
Baca juga: Budi Arie Sebut Jokowi Belum Sikapi RUU Penyiaran, Tunggu Draf Resmi
Saat itu, belum ramai disorot oleh media massa. Namun, setelah ada pasal-pasal yang kontroversi, kemudian ramai jadi pembahasan publik.
"Saya sendiri kaget melihat ada pasal-pasal yang berisi tentang larangan penayangan siaran liputan investigasi. Maka kemudian saya baca lagi dan banyak perubahan di dalamnya," kata Achmad saat dengar pendapat dengan puluhan jurnalis di Pamekasan, Jawa Timur, Minggu (26/5/2024).
Baidowi mengatakan, karena revisi RUU Penyiaran itu banyak menuai kontroversi, maka Baleg menyarankan kepada Komisi I untuk melakukan harmonisasi dengan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam obyek RUU tersebut.
"Harmonisasi dan konsultasi dulu dengan insan pers dan kelompok kepentingan lainnya agar keluh kesah tentang RUU ini tertampung dulu," kata politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Pria yang akrab disapa Awiek ini menuturkan, revisi RUU Penyiaran tidak semuanya berisi tentang hal-hal negatif seperti yang berkembang di media, tapi juga banyak yang positif.
Di antaranya tentang pengaturan media baru, media sosial, dan penguatan kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Oleh sebab itu, perlu dilakukan banyak kajian dari berbagai pihak.
"Masa sidang DPR tinggal dua kali. Feeling saya, revisi RUU Penyiaran ini tidak akan disahkan tahun ini. Namun, bisa saja disahkan jika situasi politik sudah memaksa," ungkapnya.
Sebagai anggota DPR yang pernah mengenyam dunia kewartawanan, Awiek menolak pasal-pasal yang berisi tentang pengekangan terhadap kebebasan pers.
Lahirnya Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai pijakan kebebasan pers di Indonesia, tidak boleh ada pengekangan lagi.
"Saya konsisten terhadap kebebasan pers di Indonesia. Jika ada pengekangan, sensor media, sama saja kita mundur ke masa otoritarianisme," tandasnya.
Adapun pasal-pasal kontroversi dalam draf revisi RUU Penyiaran, di antaranya Pasal 8 A ayat 1 huruf Q yang menjelaskan Komisi Penyiaran Indonesia menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.
Pasal 50 B ayat 2 huruf C tentang standar isi siaran melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Kemudian Pasal 50 B ayat 2 huruf K tentang standar isi siaran melarang penayangan konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama, penodaan agama, kekerasan dan radikalisme-terorisme.
Pasal 51 E tentang sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPIKPI dapat diselesaikan melalui pengadilan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.