MALANG, KOMPAS.com - Universitas Brawijaya (UB) akan menyiapkan program studi baru berkaitan dengan pengembangan teknologi pengelolaan Critical Raw Material (CRM) atau bahan baku kritis. Hal ini untuk mendukung pengelolaan maksimal terhadap sumberdaya alam pertambangan di Indonesia.
Rektor UB, Prof Widodo mengatakan, pihaknya tengah menyiapkan pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas menuju Indonesia Emas 2045. Menurutnya, kualitas pertambangan di Indonesia perlu diimbangi dengan SDM yang baik pula.
"Untuk itu Universitas Brawijaya akan merespons dengan membuat program studi ya material science, yang diperlukan, karena tambang kita banyak, tapi tidak bisa mengolah, bisa nambang tapi enggak bisa mengolah," kata Prof Widodo usai menghadiri rapat terbuka senat dalam rangka Dies Natalis ke-61 di Gedung Samantha Krida, UB, Kota Malang, pada Jumat (5/1/2024).
Baca juga: Pengamat UB Sebut Debat Ketiga Bisa Pengaruhi Suara Swing Voters dan Undecided Voters
Dia berpandangan bahwa sumberdaya pertambangan Indonesia telah lama dikuasai pihak asing. Namun, adanya regulasi smelter atau tempat pengelolaan hasil pertambangan di Indonesia oleh pemerintah membuka peluang bagi SDM lokal untuk mampu bersaing.
"Kekayaan alam kita banyak, tapi semua yang mengeksplorasi perusahaan asing, perusahaan asing mengekspor, Indonesia membikin regulasi dengan smelter, harus punya smelter, yang mengerjakan smelter juga kan orang asing, itulah kewajiban kita untuk menyiapkan SDM sehingga paling tidak kualitas SDM smelternya, dan kebutuhan SDM kita sangat tinggi sekali dan kita harus memasoknya," jelasnya.
Baca juga: Polisi Sebut Mantan Mahasiswi yang Jatuh dari Lantai 12 Gedung Filkom UB Bunuh Diri
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyampaikan, Indonesia membutuhkan teknologi yang memadai untuk mengelola sumberdaya pertambangan.
"Indonesia itu punya critical raw material, misalnya kita punya nikel, tembaga dan seterusnya, tetapi bersamaan dengan itu kita tidak punya teknologinya," katanya.
Selama ini, teknologi pengelolaan sumberdaya pertambangan berasal dari luar negeri. Sedangkan Indonesia hanya memasok tenaga kerja saja.
"Kapasitas untuk mengelola agar lebih baik, jadi akhirnya kalau kita melakukan hilirisasi itu ya pakai teknologi luar, mereka yang untung dan seterusnya, dan kita hanya mengirimkan tenaga kerja kita, hanya lapangan kerja," katanya.
Dia berharap, ke depan UB mampu menghasilkan riset pengembangan teknologi tentang pengelolaan sumberdaya pertambangan.
"Ke depan, kita berharap, termasuk Universitas Brawijaya itu masuk ke research-research terapan yang basisnya adalah sumberdaya yang kita miliki," katanya.
Namun, untuk melakukan riset perlu modal yang cukup, sehingga bantuan pembiayaan yang maksimal dari negara diperlukan.
"Tadi saya diberitahu bahwa jumlah dananya sangat terbatas, kalau Rp 100 juta satu tahun seorang profesor dia bisa research apa, enggak bisa apa-apa, belum lagi banyak hal yang mesti disiapkan oleh profesor, laporannya tebal-tebal, kertas-kertas pertanggungjawabannya banyak sekali," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.