SURABAYA, KOMPAS.com - Rabu (3/12/2025) sore di lingkungan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Kampus 2 Lidah Wetan menyimpan suasana yang berbeda.
Di antara bangunan fakultas yang mulai teduh, selembar tikar digelar di sudut halaman, buku-buku ditumpuk seadanya yang menampakkan kertas kosong bertuliskan “Baca buku gratis” yang diletakkan begitu saja di pinggir tikar.
Beberapa anak muda duduk melingkar, berbagi cerita dengan suara pelan yang disertai tawa kecil yang menghangatkan udara menjelang senja.
Di tengah maraknya kembali minat membaca di kalangan anak muda Surabaya mulai dari lapakan, klub baca, hingga diskusi independen mengenai buku, Komunitas Rabosore hadir sebagai salah satu ruang yang ikut menghidupkan gerakan tersebut. Komunitas ini tidak terorganisasi secara ketat, tidak besar, tetapi kehadirannya konsisten dan dekat bagi siapa pun yang ingin singgah.
Baca juga: ASRI Goes to School 2025 Berakhir: Sebarkan Literasi Keberlanjutan di 13 Sekolah Jabodetabek
Rabosore lahir pada 2003 dari sekelompok mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Unesa yang mencari ruang untuk menyalurkan minat mereka terhadap sastra.
“Awalnya hanya kumpulan anak-anak sastra yang butuh tempat untuk berkegiatan dan berbicara tentang kesusastraan,” ujar Satria Shendy, salah satu anggota Rabosore.
Terciptanya nama Rabosore pun sederhana, yakni karena kegiatan mereka berlangsung setiap hari Rabu pada sore hari, dan ritme itu bertahan hingga sekarang.
Baca juga: Minat Baca Siswa Rendah, Kepala MIN 18 Jakarta Genjot Gerakan Literasi di Sekolah
Komunitas ini tidak memiliki struktur pengurus ataupun visi dan misi formal.
“Kami tidak pernah disampaikan bahwa komunitas ini punya misi tertentu. Kami hanya gemar berkegiatan, gemar berbicara tentang sastra, dan gemar berkomunitas,” kata Satria pada saat ditemui.
Di tengah konsistensi itu, beberapa pengunjung menilai bahwa keberadaan Rabosore justru memberi ruang diskusi yang sudah jarang ditemui. Swandaru Aghni, mahasiswa Manajemen Unesa, mengatakan bahwa semangat Rabosore membuatnya tertarik singgah.
“Rabosore tetap menghidupkan ruang diskusi di tengah banyak anak muda yang mulai meninggalkan kegiatan seperti ini. Isu yang mereka bawa juga sering luput dibahas komunitas lain,” ujarnya.
Ia juga mengingat salah satu momen diskusi buku Laut Bercerita, yang menurutnya memantik kesadaran tentang peran anak muda dalam perubahan bangsa.