BANGKALAN, KOMPAS.com - Hawa dingin saat fajar menyingkap cukup akrab di kulit Aminah. Setiap hari, usai shalat subuh ia mengendarai motor matik dari rumahnya di Jalan Pemuda Kaffa, Kabupaten Bangkalan menuju halaman Stadion Gelora Bangkalan.
Di halaman stadion itulah, banyak berjejer warung semipermanen yang salah satunya milik Aminah.
Ia lalu memarkirkan kendaraannya di samping warung yang mejanya masih tertutup terpal.
Di warung kecil yang hanya beratapkan material seng inilah perempuan 40 tahun itu mencari nafkah.
Perlahan, ia membuka warung itu. Sebagian barang dagangannya ditaruh di warung. Ditutup terpal dan diikat menggunakan rantai lalu dikunci gembok.
Ada empat meja di warung milik Aminah. Tiga meja untuk mendisplay minuman kemasan dan satu meja khusus untuk menaruh etalase rokok sekaligus tempat ia menyajikan minuman untuk para pembelinya.
Baca juga: Cerita Kartika Menghadapi Rasa Bersalah sebagai Ibu dan Keputusannya Melepaskan Karier
Selain meja itu, ia juga menyiapkan kotak berbahan seng yang digunakan untuk menaruh kompor dan panci untuk menyeduh kopi.
Satu per satu botol minuman ia tata rapi di atas meja. Ia juga menggantung beberapa camilan di atas meja tersebut.
Terakhir, ia menggantung kemasan renteng minuman bubuk instan di atas meja tempatnya menyajikan minuman.
Setelah semuanya siap, ia duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu. Sambil menunggu pengunjung tiba, ia memainkan ponselnya membuka media sosial dengan latar musik hip-hop.
"Ya begini setiap hari. Setelah semua saya siapkan, saya tinggal menunggu pengunjung datang," ujarnya, Minggu (30/11/2025).
Beberapa jam kemudian pelanggannya mulai datang. Ia bergegas menghidupkan kompornya untuk mendidihkan air di dalam panci.
Kopi bubuk dan gula mulai diracik di dalam gelas bening bercorak bunga. Dalam beberapa menit, air di atas kompronya mendidih.
Baca juga: Kisah Sani, Perjuangan Ibu Muda Musisi dari Lombok Bernyanyi Sambil Gendong Anak
Aminah mulai menuang air panas ke dalam gelas berisi kopi dan gula. Seketika, aroma khas kopi menyeruak, menyambut pembeli yang sudah duduk di bangku kayu yang dilapisi banner bekas itu.
"Pengunjung itu kadang datang pagi kadang kalau pas sepi, jam 11 siang baru datang," tuturnya.
Aminah bekerja di warung itu setiap hari seorang diri, mulai pukul 05.00 hingga pukul 18.00. Sedangkan suaminya, Mohni bekerja sebagai kuli bangunan dan bekerja serabutan.
"Kalau sore nanti gantian pak Mohni yang jaga sampai jam 11 malam. Kalau dulu saya buka 24 jam tapi karena sekarang sepi jadi jam 11 malam sudah tutup," ujarnya.
Usaha warung kopi itu telah dirintis sejak 10 tahun yang lalu. Ia sengaja membantu suaminya mencari nafkah agar tiga anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
"Saya ingin anak saya lebih baik dari saya dan semuanya bisa menjadi orang sukses," ucapnya.
Keinginnannya bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi bukan tanpa sebab. Sebagai penyandang tuna aksara, ia tak ingin anak-anak merasakan hal yang sama seperti dirinya saat ini.
"Saya ini bukan orang pintar, makanya saya ingin anak saya menjadi orang pintar jangan seperti saya," imbuhnya.
Baca juga: Kisah Siti Aisyah, Ibu 5 Anak Berprofesi Penambal Ban Truk di Surabaya
Mimpi itulah yang membuat Aminah terus bekerja keras untuk tiga anaknya tersebut. Meski keuntungan dari warungnya tak banyak, ia tetap menekuni usaha tersebut hingga saat ini.
"Tiap cangkir untungnya tidak seberapa, paling banyak Rp 2 sampai Rp 3 ribu. Kita harus pintar-pintar mengelola uang yang ada. Harus sabar menunggu rezeki yang penting kita ikhtiar," tuturnya.
Dari keuntungan tiap cangkir itulah, Aminah berhasil menyekolahkan tiga anaknya. Satu putranya kini sudah masuk perguruan tinggi, putra keduanya masih duduk di bangku SMA sedangkan satu putrinya baru masuk SMP.
"Semuanya mondok. Yang tertua mondok sambil kuliah di Sampang, lalu yang nomor dua dan tiga ada di satu pondok di Sampang juga tapi beda pondok dengan kakaknya yang pertama," ungkapnya.
Aminah mengaku kerap merindukan anak bungsunya. Apalagi, putrinya baru lulus SD dan kerap menemaninya di warung usai pulang sekolah dahulu.
"Dulu biasanya anak saya yang bungsu selalu menemani saya jaga warung. Sering saya kangen tapi harus kuat supaya anak saya di sana juga bisa bertahan untuk belajar," imbuhnya.
Komunikasi dengan dua anaknya yang masih SMA dan SD itu saat ini hanya melalui surat yang ditulis anaknya dan dikirim melalui pengurus pondok. Sedangkan dengan anak tertuanya ia kerap berkomunikasi langsung melalui video call.
Baca juga: Cerita Bertemu Jodoh Hesti dan Erdin, Berkat Doa Ibu yang Spesifik
"Kalau ada surat dari anak saya itu, saya biasanya minta bacakan ke pelanggan di warung. Anak-anak kalau ngirim surat melalui pengurus pondok itu biasanya minta dikirim sabun dan keperluan pribadinya," tuturnya.
Meski berpisah dengan tiga anaknya, Aminah tetap menyempatkan waktu sebulan sekali untuk berkunjung ke tiga anaknya di pondok. Waktu itulah yang selalu dinanti oleh Aminah tiap bulannya.
"Setiap hari saya cari uang di warung dan obat lelah saya ya datang ke pondok ketemu anak-anak. Melihat mereka semakin tumbuh besar, senang rasanya," ucapnya.
Meski tiga anaknya berada di pondok, Aminah mengaku selalu berusaha memenuhi kebutuhan harian anak-anaknya. Bahkan, saat warung sepi, ia terus mengusahakan apapun untuk kebutuhan tiga buah hatinya.
"Yang lumayan rumit itu kalau sudah waktunya bayar SPP. Semuanya barengan. Tapi ya Alhamdulillah setiap saya usahakan, selalu diberikan jalan oleh Allah," jelasnya.
Aminah mengaku banyak mendapatkan kemudahan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Mulai dari biaya semester bisa dicicil hingga pernah mendapatkan laptop bekas secara gratis dari pelanggan warungnya.
"Waktu itu dapat laptop. Jadi tiga tahun lalu pas awal masuk kuliah, anak saya ponselnya rusak, sedangkan saat itu dia banyak tugas dari kampusnya," ceritanya.
Hal itu membuatnya sedih. Apalagi, saat itu ia tak memiliki cukup uang untuk membelikan putranya ponsel baru atau laptop untuk bisa menyimpan data tugas anaknya.
"Lalu ada pembeli saya di warung yang tanya, kenapa saya murung. Saya cerita kalau anak saya butuh laptop supaya anak saya bisa belajar. Kebetulan pelanggan waktu itu pegawai pertanahan dari Jakarta," ucapnya.
Baca juga: Ibu Rumah Tangga di Polewali Mandar Menangis Usai Kecopetan Saat Antre BLT di Kantor Pos
Dari obrolan itulah, pelanggannya itu menjanjikan akan mencarikan laptop bekas yang tak terpakai.
"Saya waktu itu yakin saja kalau Allah akan bantu. Saya setiap hari doa agar ucapan orang tersebut betul-betul terjadi, karena kami tidak saling kenal, dia hanya pembeli yang kebetulan mampir," ungkapnya.
Doa Aminah setiap hari akhirnya diijabah. Dalam beberapa minggu, laptop tersebut datang dan dikirim langsung dari Jakarta, tempat pegawai itu berasal.
"Itu rasanya betul-betul mukjizat dari Allah. Saya tidak menyangka Allah memberikan rezeki begitu mudah untuk anak saya belajar," ucapnya sambil menitikkan air mata.
"Laptopnya masih sangat bagus meski bekas. Barang itu sangat disayang oleh anak saya dan dipakai sampai sekarang," imbuhnya.
Aminah mengaku akan terus berjuang untuk seluruh anaknya agar bisa memiliki pendidikan tinggi. Sebab ia sadar, memiliki keterbatasan kemampuan intelektual kerap diremehkan banyak orang.
"Saya selalu ingin anak saya seperti anak-anak lain, belajar dan kelak bekerja dengan baik. Saya tidak mau anak saya dipandang sebelah mata karena keterbatasan orang tuanya," pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang