PAMEKASAN, KOMPAS.com - "Semoga wabah Covid-19 tidak pernah terulang," ini kalimat pertama yang diucapkan pustakawan muda, Hariadi di Perpustakaan Daerah M. Tabrani.
Cerita 5 tahun lalu ini masih terekam diingatannya.
Saat itu, Ia baru saja dinobatkan sebagai pustakawan muda.
"5 tahun berlalu, tapi cerita mencekam saat covid-19 menjadi kenangan yang sulit dilupakan," tutur Hadiadi.
Baca juga: Pustakawan Perpusda Sidoarjo Dorong Pengelolaan Perpustakaan di Sekolah dan Desa
Kabar penularan Covid-19 dimana-mana. Berita duka pun bersahutan.
Namun, Hariadi tidak goyah. Pelayanan buku tetap harus jalan.
Hariadi bercerita, pelayanan buku dilakukan secara online, transaksi dilakukan di pagar perpustakaan.
"Itu demi keamanan. Karena kita dibatasi untuk berinteraksi," katanya.
Baca juga: Perjuangan Pustakawan, Rela Jauh dari Keluarga Demi Tingkatkan Literasi Anak di Bangkalan
Saat terjadi pemindahan buku, alat pelindung diri (APD) harus dipakai lengkap.
Mulai masker, pelindung mata hingga sarung tangan.
Bahkan, saat buku diserahkan dan dikembalikan, harus disemprot disinfektan.
"Saat itu terasa sunyi, kami para pustakawan pun jarang berinteraksi langsung meski berada dalam satu kantor," katanya.
Hariadi seolah trauma, sejenak ia berdiam seolah memutar rekaman di benaknya.
Lebih mencekam, lanjut dia, saat salah satu pustakawan di kabarkan terpapar positif Covid-19.
"Kami pikir, berarti sudah ada yang terpapar juga saat itu," katanya.
Baca juga: Pustakawan Perpusda Sidoarjo Dorong Pengelolaan Perpustakaan di Sekolah dan Desa
Tapi ia dan pustakawan lain berusaha tidak terjebak dengan itu, mereka hanya menjaga jarak untuk berinteraksi saja.
Bahkan, Hariadi pun meyakinkan kepada anak istrinya. Bahwa kondisinya aman dan tidak akan terpapar.
"Saat itu, kami tidak cukup memikirkan keamanan diri sendiri. Tapi anak istri juga kami pikirkan," katanya.
Saat itu, kebutuhan pembaca cukup tinggi, efek pembatasan keluar rumah. Itu wajib dilayani oleh pustakawan.
"Saat dibatasi keluar rumah kebutuhan pembaca semakin tinggi, hal itu perlu kita layani," katanya.
Baca juga: Setia Membawa Buku, Kisah Pak Ipong Mengemudikan Perpustakaan Keliling
Terutama kebutuhan para mahasiswa untuk menyelesaikan tugas akhir. Sehingga pelayanan harus dikakukan meski dengan pola berbeda.
Hariadi mengaku, saat itu ia baru saja bergelut menjadi pustakawan langsung dihadapkan dengan wabah Covid-19.
"Namun adanya kejadian itu, keyakinan saya lebih kuat bahwa pustakawan tidak hanya penyedia buku saja, tapi tidak ubahnya seperti dokter melayani pasiennya untuk ditolong," katanya.
Sejak usai Covid-19, pengunjung perpustakaan daerah belum normal seperti sebelum wabah.
"Waktu sebelum tahun 2019 pembaca banyak, bahkan di tangga pun penuh. Sekarang belum pulih sejak usai Covid-19," katanya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang