KEDIRI, KOMPAS.com - Kepolisian Resor Kediri Kota, Jawa Timur, menetapkan Saepul Amin (SA), seorang aktivis mahasiswa, sebagai tersangka dalam kasus penghasutan terkait aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh pada 30 Agustus 2025.
Saepul, yang merupakan aktivis komunitas Sekitar Institute Kediri dan mantan Ketua Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) periode 2023, disangkakan melanggar pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Kediri Kota, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Cipto Dwi Laksono, mengungkapkan bahwa penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik mengumpulkan minimal dua alat bukti yang sah, termasuk keterangan saksi, bukti surat, dan petunjuk lainnya.
Baca juga: Viral Pengembalian Benda Diduga Artefak Museum Bhagawanta Bhari Kediri, Faktanya Begini
"Kami sudah laksanakan gelar perkara sehingga ada penetapan tersangka. Sekarang sudah dilakukan penahanan di rutan Polres Kediri Kota," ujar Cipto kepada awak media pada Rabu (3/9/2025).
Cipto juga menambahkan bahwa pihaknya akan melengkapi penyidikan dengan keterangan ahli bahasa untuk memperkuat bukti keterlibatan tersangka.
"Tentunya juga nanti akan kami dalami perbuatannya dari ahli bahasa," pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Al-Faruq, Taufik Dwi Kusuma, yang juga merupakan pengacara Saepul Amin, mengungkapkan bahwa pihaknya akan mengajukan penangguhan penahanan terhadap kliennya.
"Sebagai tindak lanjut status tersangka itu, kami akan ajukan penangguhan penahanan," ujar Taufik.
Ia juga mengimbau agar penyidik menjalankan tugasnya secara profesional.
Baca juga: Fadli Zon Minta Polisi Cari Koleksi Museum Bagawanta Kediri yang Dijarah
"Polisi harus selalu transparan agar kepastian hukumnya jelas," tambahnya.
Sebelumnya, Saepul Amin dijemput polisi di kos-kosan tempat tinggalnya di Kediri pada Selasa (2/9/2025) dini hari.
Dia diduga sebagai koordinator aksi yang berakhir ricuh tersebut.
Pihak pengacara sempat memprotes penjemputan itu dan menilai proses tersebut mengabaikan mekanisme pemanggilan sebagai prosedur permintaan keterangan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang