Perusakan museum maupun fasilitas pelayanan publik lainnya, menurutnya, adalah sebuah ironi yang menusuk hingga ke jantung demokrasi itu sendiri.
Sebab, pelayanan atas kebutuhan-kebutuhan administrasi dasar masyarakat Kediri akan terhambat karena ulah perusuh tersebut.
“Ketika alunan musik kebebasan itu berubah menjadi simfoni kehancuran, adalah sebuah ironi. Menjadi cermin kelam dan memilukan,” kata dia.
Oleh sebab itu, perusakan museum ini merupakan gambaran pengingat keras bagi semuanya.
Demokrasi bukan hanya tentang hak untuk berteriak, tetapi juga tentang kewajiban untuk mendengar dan berpikir.
Ia bukan lisensi untuk merusak, melainkan sebuah mandat untuk merawat.
“Semoga suara-suara di masa depan yang menuntut perubahan adalah suara yang membangun, bukan yang merobohkan. Suara yang mengkritik kebijakan, bukan yang memecahkan kaca jendela sejarah kita bersama,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Museum Bhagawanta Bhari yang berada satu kompleks dengan gedung DPRD maupun Kantor Pemkab Kabupaten Kediri, Jawa Timur, menjadi korban sasaran amukan massa aksi solidaritas Affan Kurniawan, Sabtu (31/8/2025) malam.
Akibat peristiwa itu, gedung museum mengalami kerusakan dan sejumlah artefak rusak dan hilang.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang