“Harapannya, aturan royalti ini bisa dibuat lebih jelas dan mekanismenya dipermudah, supaya coffee shop tetap bisa memutar lagu-lagu yang disukai pegawai maupun customer tanpa terkendala aturan yang membingungkan,” katanya.
Sementara itu, di kota lain, suara musik di sebuah kedai yang berada di sudut mal legendaris Tunjungan Electronic Center (TEC) Surabaya juga berubah.
Galih Phuja Ardian, pemilik Kedai Lima Sembilan itu, sudah sejak dua bulan lalu memilih hanya memutar No Copyright Sound (NCS).
Bukan karena ditegur, bukan karena diperingatkan. Hanya karena takut meski keheningan berlisensi ini tidak menggoyahkan minat pelanggan.
“Lebih ke parno aja sih. Saya lihat-lihat di TikTok kok kedai atau kafe daerah Jabodetabek banyak yang kena makanya saya langsung mutusin buat muter NCS,” kata pria asal Semolowaru, Surabaya, itu kepada Kompas.com.
“Sebenarnya enggak pengaruh ke penjualan soal musik. Cuma biar ada ambience aja saya muterin no copyright sound,” imbuhnya.
Baca juga: Polemik Royalti Musik di Kafe, Istana Akan Cari Jalan Keluar
Sebagai pekerja kreatif, ia sebenarnya mendukung gerakan ini. Tapi lagi-lagi, ia menyayangkan soal penyampaian informasi yang terasa seperti badai mendadak.
“Bagus kalau di Indonesia sudah mulai mengaplikasikan copyright dengan baik. Karena saya juga pekerja kreatif jadi mendukung juga adanya pemungutan copyright oleh LMK. Tapi sepertinya sosialisasinya kurang menyeluruh yaa. Karena tahunya juga mendadak lewat sosial media setelah kasus Mie Gacoan viral,” tutur Galih Phuja Ardian.
Untuk itu, ia merasa UMKM belum sepenuhnya siap. Tapi itu bukan berarti tidak mau taat. Menurutnya, selama musik bebas royalti tidak mengganggu penjualan, itu adalah kompromi terbaik saat ini.
“Awalnya kami mengira hanya perusahaan besar yang disasar, tapi ternyata UMKM pun juga bisa kena sidak LMK. Jadi kami putar NCS saja,” ujar pria yang juga berprofesi sebagai fotografer dan konsultan branding itu.
“Toh dengan memutar NCS tidak berpengaruh ke penjualan dari kedai. Kecuali suatu saat scope dari Kedai 59 sudah besar, mungkin kami mampu untuk memutar musik dengan membayar royalti sesuai undang-undang. Tapi untuk sekarang masih belum mampu,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang