Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Lagu Tak Lagi Gratis, Kafe di Malang dan Surabaya Lebih Selektif Putar Musik

Kompas.com, 6 Agustus 2025, 08:09 WIB
Suci Rahayu,
Andi Hartik

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Bagi banyak orang, nongkrong tanpa musik seperti panggung tanpa cahaya. Lagu-lagu yang mengalun di kafe bukan hanya pelengkap suasana tetapi menghadirkan kenangan, kenyamanan, bahkan keintiman yang tidak terucap.

Namun, sejak viralnya kasus pemutaran musik di ruang publik yang dikenai royalti, para pelaku usaha pun mulai berpikir ulang.

Seperti diketahui pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM menegaskan musik yang diputar di ruang publik harus berlisensi dan wajib membayar royalti.

Baca juga: Program Cek Kesehatan Gratis Sasar 242.110 Siswa di Seluruh Surabaya

“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” ujar Agung Damarsasongko, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI beberapa waktu lalu.

Taat Aturan, tapi Kehilangan Fleksibilitas

Seperti di sudut kota Malang, Dekker Koffie mengambil langkah sunyi karena tidak ingin mengambil risiko atas keputusan tersebut. Langkah ini diambil tanpa ada surat resmi atau arahan pemerintah. Hanya berdasar berita dan kabar yang berseliweran.

Baca juga: Kafe di Jaksel Keberatan Bayar Royalti Lagu, Manajemen: Spotify Aja Enggak Semahal Itu

“Kalau dari kita sendiri sudah per 1 Agustus kemarin mutar lagu luar saja,” kata Arya Dwiffa, marketing kafe tersebut kepada Kompas.com, Selasa (5/8/2025).

“Sejauh ini belum ada penyampaian atau sosialisasi resmi. Kita hanya inisiatif mengikuti informasi yang beredar,” imbuhnya.

Namun, dampaknya tetap terasa. Sebab, playlist yang biasa diputar acak dari Spotify kini harus lebih selektif dan tidak semua lagu bisa diputar.

“Bedanya, kita jadi sedikit kurang fleksibel kalau ada customer yang request lagu tertentu, karena pilihan jadi terbatas,” ujar pria asal Malang itu.

Langkah semua ini, rupanya dimulai dari dorongan kecil dari sang pemilik. Untuk itu, di balik langkah hati-hati ini, Arya Dwiffa menyimpan harapan besar bahwa aturan ini jangan membingungkan dan tidak terlalu membebani usaha kecil.

“Harapannya, aturan royalti ini bisa dibuat lebih jelas dan mekanismenya dipermudah, supaya coffee shop tetap bisa memutar lagu-lagu yang disukai pegawai maupun customer tanpa terkendala aturan yang membingungkan,” katanya.

Pilih Aman dan Tetap Ramai

Sementara itu, di kota lain, suara musik di sebuah kedai yang berada di sudut mal legendaris Tunjungan Electronic Center (TEC) Surabaya juga berubah.

Galih Phuja Ardian, pemilik Kedai Lima Sembilan itu, sudah sejak dua bulan lalu memilih hanya memutar No Copyright Sound (NCS).

Bukan karena ditegur, bukan karena diperingatkan. Hanya karena takut meski keheningan berlisensi ini tidak menggoyahkan minat pelanggan.

Suasana pengunjung yang telah melalui tangga darurat di Tunjungan Electronic Center (TEC) untuk dapat menikmati sajian dari Kedai Lima Sembilan Tunjungan Surabaya.KOMPAS.com/SUCI RAHAYU Suasana pengunjung yang telah melalui tangga darurat di Tunjungan Electronic Center (TEC) untuk dapat menikmati sajian dari Kedai Lima Sembilan Tunjungan Surabaya.

“Lebih ke parno aja sih. Saya lihat-lihat di TikTok kok kedai atau kafe daerah Jabodetabek banyak yang kena makanya saya langsung mutusin buat muter NCS,” kata pria asal Semolowaru, Surabaya, itu kepada Kompas.com.

“Sebenarnya enggak pengaruh ke penjualan soal musik. Cuma biar ada ambience aja saya muterin no copyright sound,” imbuhnya.

Baca juga: Polemik Royalti Musik di Kafe, Istana Akan Cari Jalan Keluar

Sebagai pekerja kreatif, ia sebenarnya mendukung gerakan ini. Tapi lagi-lagi, ia menyayangkan soal penyampaian informasi yang terasa seperti badai mendadak.

“Bagus kalau di Indonesia sudah mulai mengaplikasikan copyright dengan baik. Karena saya juga pekerja kreatif jadi mendukung juga adanya pemungutan copyright oleh LMK. Tapi sepertinya sosialisasinya kurang menyeluruh yaa. Karena tahunya juga mendadak lewat sosial media setelah kasus Mie Gacoan viral,” tutur Galih Phuja Ardian.

Untuk itu, ia merasa UMKM belum sepenuhnya siap. Tapi itu bukan berarti tidak mau taat. Menurutnya, selama musik bebas royalti tidak mengganggu penjualan, itu adalah kompromi terbaik saat ini.

“Awalnya kami mengira hanya perusahaan besar yang disasar, tapi ternyata UMKM pun juga bisa kena sidak LMK. Jadi kami putar NCS saja,” ujar pria yang juga berprofesi sebagai fotografer dan konsultan branding itu.

“Toh dengan memutar NCS tidak berpengaruh ke penjualan dari kedai. Kecuali suatu saat scope dari Kedai 59 sudah besar, mungkin kami mampu untuk memutar musik dengan membayar royalti sesuai undang-undang. Tapi untuk sekarang masih belum mampu,” pungkasnya.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
Surabaya
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Surabaya
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Surabaya
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
Surabaya
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Surabaya
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Surabaya
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Surabaya
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
Surabaya
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
Surabaya
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Surabaya
Mahasiswa Terdampak Bencana Sumatera, UTM Bebaskan UKT hingga Semester 8
Mahasiswa Terdampak Bencana Sumatera, UTM Bebaskan UKT hingga Semester 8
Surabaya
Curhat Kurir Paket di Banyuwangi, Kena Omel gara-gara Order Palsu
Curhat Kurir Paket di Banyuwangi, Kena Omel gara-gara Order Palsu
Surabaya
Khofifah Tinjau Pembangunan 2 Jembatan yang Ambruk di Lumajang, Pastikan Rampung 31 Desember
Khofifah Tinjau Pembangunan 2 Jembatan yang Ambruk di Lumajang, Pastikan Rampung 31 Desember
Surabaya
Antre 3 Jam di Pasar Murah Pemprov Jatim di Lumajang, Warga Pulang Tangan Kosong
Antre 3 Jam di Pasar Murah Pemprov Jatim di Lumajang, Warga Pulang Tangan Kosong
Surabaya
Unair Terjunkan Bantuan Teknologi dan Tim Manajemen Bencana ke Sumatera
Unair Terjunkan Bantuan Teknologi dan Tim Manajemen Bencana ke Sumatera
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau