Efek visual yang dihasilkan bukan hanya menarik, tetapi juga menyampaikan semacam paradoks dari kegelapan, muncul terang yang membangunkan kesadaran.
“Saya ingin pengunjung happy saat melihat karya saya, makanya saya sebut ini happy art. Warna-warna norak ini justru jadi ciri khas saya. Tidak banyak pelukis di Indonesia yang memakai cat seperti ini,” sambungnya sambil tersenyum.
Baca juga: Dorong Kesadaran Lingkungan Jamaah Haji, BPKH Perkenalkan Panduan Green Hajj
Tidak hanya warna, Daniel Kho juga bereksperimen dengan media.
Lima lukisan dalam pameran ini menggunakan daun kering sebagai bagian dari kanvas, menyatukan unsur alam secara harfiah ke dalam karya seni.
“Daun itu komponen penting dari pohon, dia yang menerima energi dari alam. Daripada daun-daun ini tidak digunakan, lebih baik saya pakai untuk membuat karya seni,” kata pria yang memiliki galeri di Bali itu.
Untuk menghasilkan karya ini, ia membutuhkan waktu tujuh bulan.
Proses panjang yang tidak hanya merefleksikan dedikasi terhadap karya, tetapi juga kesetiaan pada misi menjaga alam lewat bahasa visual yang menyentuh.
Seperti diketahui, perjalanan seninya tidak singkat.
Baca juga: Tren Undangan Pernikahan Digital, Lebih Praktis dan Ramah Lingkungan
Ia telah meninggalkan Indonesia sejak 1975, menetap di berbagai negara dan memperdalam seni lukis dengan beasiswa dari Jacob Eschweiler Art Foundation di Jerman.
Namanya tercatat dalam berbagai ajang internasional, termasuk konferensi lingkungan dan seni di Guatemala 18 tahun lalu.
“Waktu itu, peserta dari Eropa dan Amerika menuduh negara Asia seperti kita yang menebangi hutan. Padahal mereka yang lebih dulu menghabiskan hutan mereka sendiri. Itu jadi salah satu momen yang menguatkan saya untuk terus bersuara lewat seni,” pungkas dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang