SURABAYA, KOMPAS.com - Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menekankan pentingnya pendekatan yang berbeda-beda pada anak terkait kebijakan pembatasan jam malam di Kota Surabaya.
Kebijakan ini resmi diberlakukan oleh Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, pada Senin (23/5/2025), sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 400.2.4/12681/436.7.8/2025 tentang Pembatasan Jam Malam bagi Anak di Kota Surabaya.
Dekan dan Guru Besar Sosiologi Ekonomi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unair Prof Dr Bagong Suyanto menyampaikan, Pemkot Surabaya juga harus lebih memperhatikan anak-anak yang berasal dari kelompok marginal.
Baca juga: Resmi, Eri Cahyadi Berlakukan Jam Malam untuk Anak di Surabaya
Sebab, anak-anak tersebut biasanya memiliki subkultur tersendiri yang dikhawatirkan malah akan bentrok dengan aparat keamanan.
“Karena subkultur itu biasanya kalau makin dilarang itu makin resisten. Jadi kalau ada pelarangan biasanya yang terjadi bukan menurut ya, tapi malah adu kontestasi antara Satpol PP dengan anak-anak marginal itu. Sedangkan, Satpol PP ini kan juga tidak hanya tugasnya mengurusi anak-anak itu saja,” jelas Bagong saat dihubungi Kompas.com, Senin (23/5/2025).
Baca juga: Cegah Perilaku Buruk Anak, Eri Cahyadi Berencana Terbitkan SE Jam Malam di Surabaya
Menurutnya, tidak hanya sebatas kebijakan saja, Pemkot Surabaya juga harus menggandeng Community Based Organization (CBO) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam penerapan SE tersebut.
“Karena kalau keterlibatan CBO ini bisa dirangkul, saya kira Pemkot tidak akan terbebani anggaran dan waktu dari aparatur pemerintahan untuk terus-menerus mengawasi ya. Sebab keberlanjutannya itu agak riskan. Membutuhkan dana, waktu, dan tenaga juga,” tuturnya.
Ia menilai, pengaruh penerapan SE tersebut dalam memberantas geng motor, tawuran, dan kenakalan remaja hanya akan efektif pada efek jangka pendek.
Sementara untuk efek keberlanjutannya, perlu dilakukan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan situasi yang dihadapi anak.
Sebab, setiap anak memiliki faktor pendorong yang berbeda-beda, sehingga tidak bisa digeneralisasikan secara homogen hanya melalui satu pendekatan.
“Kita menginginkan ada keberlanjutan dalam penerapan kebijakan itu. Jangan sampai ketika operasi digalakkan, sama seperti PKL (Pedagang Kaki Lima) dulu. Kalau PKL-nya hanya mengandalkan Satpol PP ya main kucing-kucingan terus. Saya kira kan butuh pendekatan yang lebih mendasar ya pada operasi jam malam itu,” ujarnya.
Bagong menyarankan perilaku menyimpang pada anak-anak tersebut lebih baik disalurkan untuk mengembangkan potensi ke aktivitas yang positif dibandingkan hanya dihilangkan secara menyeluruh.
“Kalau saya lebih melihat perilaku seperti itu itu bisa disalurkan daripada dilarang. Misalnya geng motor, ya dibuatkan saja forum balapan yang bisa terawasi,” ucapnya.
Selain itu, pendekatan kepada orangtua atau keluarga juga penting untuk dilakukan dalam upaya pengawasan terhadap anak.
“Pendekatan pada orangtua saya juga setuju perlu dilakukan, mungkin orangtua itu sebagian bisa didekati melalui kelompok pengajian, kelompok dasawisma atau yang lainnya, yang untuk bapak-bapak juga perlu dicari forum apa yang cocok. Jadi menurut saya masalahnya itu jangan disamaratakan, dihomogenisasi,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang