“Apalagi kalau wisudanya mengharuskan ada biaya yang harus dikeluarkan orangtua hanya untuk hal-hal yang tidak substantif, saya rasa itu cukup memberatkan,” ujarnya.
Selain itu, kegiatan study tour juga sepatutnya memperhatikan keselamatan dalam pemilihan destinasi yang memang aman untuk anak-anak.
“Karena terkadang sekolah terlalu memaksakan diri untuk mencari lokasi study tour yang secara keamanan dan kenyamanan sulit dijangkau anak-anak,” ucapnya.
Senada, Nanda, orang tua siswa salah satu SD Negeri di Sidoarjo, menceritakan, sebelum diterapkan kebijakan tersebut, dia harus mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar untuk wisuda dan study tour.
“Anak kedua saya yang sekarang saja, kemarin harus bayar Rp 800.000 hanya untuk wisuda TK,” jelasnya.
Ia mengaku, sebagai seorang single mother yang harus berjuang di tengah kondisi ekonomi yang sulit seperti saat ini.
Dia pun merasa keberatan jika ada pungutan lain hanya untuk kegiatan yang hanya bersifat selebrasi.
“Terutama di kondisi ekonomi sekarang yang semuanya serba mahal, terus harus mengeluarkan sekian ratus ribu untuk wisuda yang mana sebenarnya kurang ada esensinya, itu sangat memberatkan sebagai orangtua,” ungkapnya.
Hal tersebut juga didukung oleh anak Nanda yang tidak setuju dengan kegiatan wisuda atau study tour yang hanya menghabiskan tenaga dan uang.
“Bahkan, anak saya juga pernah mengeluhkan capek banget untuk ikut kegiatan pariwisata atau wisuda, sementara dia juga ada banyak aktivitas lain di sekolah,” jelasnya.
Ia berharap melalui kebijakan tersebut pihak sekolah dapat lebih bijak dalam mengalokasikan biaya wisuda dan wisata untuk memperbaiki fasilitas sekolah.
“Lebih baik biaya study tour atau wisuda itu dibuat untuk memperbaiki fasilitas sekolah yang sudah tua atau rusak untuk menunjang pembelajaran siswa agar lebih nyaman dan menyenangkan,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang