Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi juga melarang sekolah untuk menarik pungutan demi menunjang kegiatan tersebut.
"Kalau di sekolah negeri sudah saya, istilahnya 'haramkan', untuk wisuda. Saya sudah tidak perbolehkan lagi ada wisuda di SD dan SMP negeri ketika dia itu meminta biaya kepada muridnya," kata Cak Eri.
Menanggapi kebijakan tersebut, orangtua dari siswa SD dan SMP di Surabaya menyatakan setuju dengan pelarangan tersebut.
Salah satunya, Elisa, orangtua siswa SMP Negeri 15 Surabaya mengaku setuju dengan aturan tersebut.
Karena para siswa yang jauh dari pengawasan orang tua saat wisata ke luar kota sehingga tidak dapat memantau secara langsung.
“Apalagi karena anak-anak jauh dari pengawasan orangtua, jadi sangat tinggi untuk terjadi kecelakaan selama study tour itu,” ungkap Elisa.
Ditambah lagi, apabila kegiatan pariwisata yang mengharuskan ada pungutan biaya yang akan semakin memberatkan walimurid.
Sementara untuk pelaksanaan wisuda bagi siswa SD dan SMP, menurutnya menjadi kegiatan yang tidak terlalu penting karena hanya bersifat perayaan semata.
“Beda lagi kalau wisuda SMA, menurut saya masih perlu karena kasihan anak-anak yang semisal tidak lanjut ke perguruan tinggi mereka jadinya tidak pernah merasakan momen wisuda,” terangnya.
Hal yang sama juga disampaikan Putri, orangtua salah satu SD swasta di Surabaya.
Ia menuturkan baik sekolah negeri maupun swasta seharusnya mengomunikasikan keseluruhan biaya, termasuk iuran saat pendaftaran ulang.
Agar para orangtua memiliki estimasi dan persiapan untuk biaya pendidikan.
“Katakanlah di awal hanya bersiap Rp 5 juta untuk sekolah anaknya, tapi ternyata ada iuran di tengah-tengah pembelajaran lebih dari 20 persen, nah kalau begini kan saya rasa juga akan memberatkan,” tutur Putri.
Menurutnya, wisuda bagi siswa SD dan SMP hanyalah berupa selebrasi yang tidak bermakna karena tidak terdapat pembelajaran di dalamnya.
“Apalagi kalau wisudanya mengharuskan ada biaya yang harus dikeluarkan orangtua hanya untuk hal-hal yang tidak substantif, saya rasa itu cukup memberatkan,” ujarnya.
Selain itu, kegiatan study tour juga sepatutnya memperhatikan keselamatan dalam pemilihan destinasi yang memang aman untuk anak-anak.
“Karena terkadang sekolah terlalu memaksakan diri untuk mencari lokasi study tour yang secara keamanan dan kenyamanan sulit dijangkau anak-anak,” ucapnya.
Senada, Nanda, orang tua siswa salah satu SD Negeri di Sidoarjo, menceritakan, sebelum diterapkan kebijakan tersebut, dia harus mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar untuk wisuda dan study tour.
“Anak kedua saya yang sekarang saja, kemarin harus bayar Rp 800.000 hanya untuk wisuda TK,” jelasnya.
Ia mengaku, sebagai seorang single mother yang harus berjuang di tengah kondisi ekonomi yang sulit seperti saat ini.
Dia pun merasa keberatan jika ada pungutan lain hanya untuk kegiatan yang hanya bersifat selebrasi.
“Terutama di kondisi ekonomi sekarang yang semuanya serba mahal, terus harus mengeluarkan sekian ratus ribu untuk wisuda yang mana sebenarnya kurang ada esensinya, itu sangat memberatkan sebagai orangtua,” ungkapnya.
Hal tersebut juga didukung oleh anak Nanda yang tidak setuju dengan kegiatan wisuda atau study tour yang hanya menghabiskan tenaga dan uang.
“Bahkan, anak saya juga pernah mengeluhkan capek banget untuk ikut kegiatan pariwisata atau wisuda, sementara dia juga ada banyak aktivitas lain di sekolah,” jelasnya.
Ia berharap melalui kebijakan tersebut pihak sekolah dapat lebih bijak dalam mengalokasikan biaya wisuda dan wisata untuk memperbaiki fasilitas sekolah.
“Lebih baik biaya study tour atau wisuda itu dibuat untuk memperbaiki fasilitas sekolah yang sudah tua atau rusak untuk menunjang pembelajaran siswa agar lebih nyaman dan menyenangkan,” pungkasnya.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/05/16/165235078/curhat-orangtua-siswa-soal-wisuda-dan-study-tour-terkadang-sekolah-terlalu