SURABAYA, KOMPAS.com - Setiap tahun ada peningkatan dari tren pengguna pinjaman online (pinjol). Hal tersebut diiringi dengan meningkatnya kasus-kasus korban yang terjerat pinjol.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas.com, jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, tingkat penyaluran pinjaman lebih banyak dilakukan nasabah perempuan.
Jarak penyaluran pinjaman antara perempuan dan laki-laki yang melebar dari 52,3 persen menjadi 54,8 persen yang mengindikasikan adanya kerentanan perempuan untuk terpaksa mengambil pinjol.
Namun, hal tersebut juga meningkatkan peluang perempuan menjadi korban kekerasan.
Baca juga: Apa Saja Hak-hak Korban dan Batasan Penagihan Pinjol? Ini Kata Ahli
Lantas, bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh perempuan untuk keluar dari lingkaran jeratan pinjol?
Dosen Hukum Perlindungan Konsumen Universitas Airlangga (Unair) Dr Ria Setyawati menjelaskan langkah-langkah yang bisa dilakukan perempuan saat mendapat kekerasan, intimidasi, dan ancaman dari pinjol.
Pertama, mendokumentasikan bukti kekerasan atau ancaman, seperti screenshot atau rekaman suara.
Kedua, blokir segala bentuk komunikasi dengan pelaku.
Ketiga, melapor ke kepolisian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komnas Perempuan, atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Bisa juga lapor ke Satgas Waspada Investasi untuk tindakan administratif terhadap pelaku.
Baca juga: Alasan Nasabah Pinjol Didominasi Perempuan dan Apa Saja Hukumnya?
“Jangan hadapi sendiri, segera cari pendampingan hukum atau psikologis,” kata Ria, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/4/2025).
Jika memang terbukti, pihak pinjol dapat dikenakan pelanggaran Undang-undang (UU) ITE apabila terjadi eksploitasi digital maupun KUHP jika terdapat unsur pemerasan atau ancaman.
Selain itu, korban juga bisa meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kalau merasa terancam.
“Lapor ke Komnas Perempuan jika korban adalah perempuan dan mengalami kekerasan berbasis gender,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa sudah terdapat hukum yang mengatur pinjol dan melindungi hak-hak korban.
Sebagaimana dalam Undang-undang (UU) ITE Pasal 27B secara tegas mengatur bahwa setiap individu yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarluaskan atau mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik, dengan tujuan memperoleh keuntungan secara melawan hukum, serta memaksa orang lain dengan ancaman kekerasan untuk: a) menyerahkan barang miliknya atau milik orang lain; atau b) memberikan pinjaman, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang, dapat dikenai sanksi hukum.
Baca juga: Korban Pinjol Ilegal Meningkat, Apa Solusi dan Hukum yang Mengaturnya?
Selain itu, Undang-Undang No.1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait dengan ancaman dan penyebaran data probadi melalui media sosial dalam penagihan ke konsumen.
Ada juga, Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 terkait dengan hak-hak konsumen yang tidak boleh dilanggar oleh perusahaan pinjol.
“Yang mana semua aturan itu menjadi dasar hukum bagi setiap perusahaan pinjol, serta para korban agar terlepas dari jeratan pinjol ilegal,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang