MALANG, KOMPAS.com - Di tengah meningkatnya perhatian terhadap energi ramah lingkungan, inovasi kompor biomassa karya Dosen Universitas Brawijaya (UB) Muhammad Nurhuda sempat menjadi sorotan.
Kompor ini tidak hanya menawarkan efisiensi energi yang lebih baik, tetapi juga berhasil menembus pasar internasional.
Bahkan, kabar lama yang menyebutkan produksinya di Norwegia kembali mencuat.
Namun, ia menegaskan bahwa informasi tersebut sudah tidak lagi relevan karena produksi massal kompor ini sebenarnya telah berhenti sejak 2018.
Baca juga: Inovasi Kompor Biomassa yang Pernah Mendunia, Kini Tinggal Kenangan
Seperti diketahui, inovasi kompor biomassa ini bermula dari sebuah idenya yang dikembangkan sejak tahun 2006.
"Kami mempresentasikan konsep ini pada 2008, dengan pemikiran bahwa biomassa lebih ekonomis sebagai sumber energi. Akhirnya, kami mengembangkan kompor ini hingga kualitas nyala apinya hampir setara dengan elpiji pada 2006," kata Muhammad Nurhuda kepada Kompas.com, Selasa (25/3/2025) siang.
Baca juga: Cerita Polisi Bantu Padamkan Api dari Kompor Gas Bocor Milik Penjual Bakpao di Nunukan
Kemudian, keunggulan kompor ini menarik perhatian investor, termasuk perusahaan asal Norwegia yang kemudian menjalin kerja sama produksi setelah kompor biomassa ini diuji coba di laboratorium di Kamboja.
"Dulu yang terkait produksi bersama Norwegia itu banyak. Memang kita berpartner dengan perusahaan PMA dari Norwegia sejak 2012-2017. Berakhir karena mereka ada masalah internal. Waktu itu yang diproduksi memang cukup banyak. Tapi sekarang sudah tidak lagi," tutur dosen Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Malang.
"Norwegia waktu itu tertarik dan menghubungi saya. Lalu kita melakukan uji coba dan tes di Kamboja karena mereka punya lab di sana. Akhirnya mereka sepakat mengajak kerja sama sejak 2012-2017," imbuhnya.
Meskipun sempat berkembang pesat, produksi kompor biomassa akhirnya dihentikan.
Salah satu alasannya adalah sulitnya bersaing dengan elpiji yang lebih praktis dan sudah lebih dulu mengakar di masyarakat.
Menurut Muhammad Nurhuda, proyek kompor biomassa di berbagai belahan dunia sebenarnya banyak didukung oleh Bank Dunia dalam konteks penurunan karbon.
"Bukan karena mahal, sebenarnya proyek-proyek kompor biomassa itu banyak di dunia. Dulu beranggapan dengan menggunakan kayu yang sedikit, orang-orang tertarik sehingga banyak yang dibiayai Bank Dunia dalam konteks penurunan karbon itu," ujar pria yang pernah meraih Penerima Penghargaan Energi Prakarsa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2011).
"Jadi bukan hanya di Indonesia, karena di Indonesia sendiri sangat sedikit. Yang paling banyak di China, Myanmar, India, dan negara-negara Afrika Barat dan Tengah," sambungnya.
Namun, pada akhirnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kompor biomassa sulit bersaing dengan elpiji.
"Dari situ akhirnya mungkin mereka mencoba peruntungan masuk. Kenyataannya ya seperti itu. Tapi kini ya sudah, riwayatnya seperti itu. Mereka memang memproduksi banyak, tapi akhirnya berakhir juga," pungkas Muhammad Nurhuda.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang