Mulanya, untuk memahami teknik membuat tato, dia mempelajarinya secara otodidak.
“Ability dan agility-nya kurang. Saya harus belajar terus mengasah bakat untuk terus improvisasi,” cetus Angga.
Beruntung, dia memiliki kakak sepupu yang menggeluti industri tato lebih dulu.
Selepas kuliah, Angga mengikuti sepupunya ke Surabaya untuk menggelar pameran tato di Tunjungan Mall Plaza.
Dari situlah, Angga mulai jeli memahami tato -bukan hanya sekadar goresan tinta di kulit, tetapi menjadi bagian dari kesenian dan budaya, serta tren gaya hidup yang bisa berkembang menjadi usaha.
Baca juga: Dodot, Seniman Tato yang Jalani Hobi dan Bisnis di Tengah Persepsi Buruk
Setelah pameran yang digelar kakaknya meledak di kalangan pecinta seni, ketertarikan Angga untuk belajar tato, bekerja, dan memulai usaha di Surabaya mulai tinggi.
Pada awalnya, ia mengira kedua orangtuanya akan melarangnya untuk fokus karier sebagai tattoo artist.
Terlebih, pada tahun 2000-an awal, stigma tato sebagai hal tabu sangat kuat mengakar di kalangan masyarakat.
“Tahun segitu tato masih dianggap tabu dan bapak orangnya mandiri, pendiam, jadi mau melarang anaknya tidak berani karena mungkin beliau melihat saya menghasilkan dan tidak aneh-aneh,” ujar dia.
Angga pun mulai fokus. Beberapa negara dia jajaki untuk belajar industri tato.
Seiring berjalannya waktu, untuk mempertajam tekniknya, dia juga aktif mengikuti e-method dan e-course.
“Akhirnya tahun 2008 saya mulai pindah ke Surabaya dan waktunya bekerja di sini,” tutur pria asal Bandung tersebut.
Nah, meski sudah belasan tahun bekerja sebagai tattoo artist, dia tetap tak tertarik untuk merajah tubuhnya.
Pasalnya, Angga berjanji kepada kedua orangtuanya yang telah mengizinkan dia berkarir sebagai tattoo artist.
Baca juga: Perjalanan Seni Tato di Jawa Timur, Gaya Hidup yang Kian Digandrungi
“Ayah sama ibu melarang secara halus, pokoknya jangan ditato lah karena dulu masih tabu. Bapak tidak melarang untuk jadi tattoo artist, mungkin itu yang membuat saya respect ke mereka,” ungkap dia.
Namun, Angga juga punya alasan pribadi mengapa dirinya tak ingin ditato oleh orang lain.
Anggara Yuniarto (42), seniman tato di Surabaya yang tidak memiliki tato di badan, Selasa (18/2/2025)“Di sisi lain, takut jelek. Kalau tato kan permanen, tidak bisa hilang seumur hidup,” sebut dia.
Menjalani profesi sebagai tattoo artist dan berjejaring dengan berbagai kalangan, membuat Angga mengenal banyak karakter seseorang. “Manusia itu perfeksionis,” kata dia.
Goresan yang dibuat Angga berfokus pada gaya realis. Tidak jarang konsumennya meminta agar foto orang-orang yang berjasa dalam hidup mereka dibuat sebagai gambar tato.
“Makanya aku senang realis. Seperti punya maknanya masing-masing; foto orangtua, nenek, kakek, atau anaknya yang mereka punya hubungan darah,” ucap dia.
Angga juga mengaku pernah membuat tato untuk satu keluarga; ayah, ibu, dan anak. Pengalaman ini menurutnya paling memorable.
Baca juga: Fiki Susanto, Seniman Tato Banyuwangi yang Teguh Lawan Stigma Negatif
Pria kelahiran 1983 ini mengaku mengidolakan Paul Booth, seorang seniman tato, pematung, pelukis, pembuat film, dan musisi yang tinggal di New York City.
Booth dikenal sebagai seniman yang identik dengan karya tato monokrom bergaya realis.
“Salah satu alasan kenapa aku pengin bisa tato adalah dia. Penuh idealis baik orangnya maupun seninya, saya pengin seperti itu,” tegas Angga.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang