BANYUWANGI, KOMPAS.com - Mohammad Fiki Susanto, seorang seniman tato berusia 30 tahun asal Banyuwangi, Jawa Timur, bertekad mengubah pandangan masyarakat terhadap tato yang selama ini identik dengan stigma negatif.
Bagi Fiki, tato bukanlah simbol kriminalitas atau hal-hal negatif lainnya, melainkan sebuah karya seni yang memiliki makna mendalam.
Sebagai seorang bapak satu anak, Fiki tidak ragu menjadikan kulitnya sendiri sebagai kanvas untuk melukis berbagai gambar tato yang menyimpan kisah emosional.
Menariknya, semua tato yang menghiasi lengan kirinya adalah hasil karya tangan Fiki sendiri.
Baca juga: Fiki Susanto, Seniman Tato Banyuwangi yang Teguh Lawan Stigma Negatif
“Tahun 2019 saya bikin tato ini, foto anak dengan background Jepang, karena saya cukup suka Jejepangan,” ungkap Fiki sembari menunjukkan tato bergambar seorang anak laki-laki dengan latar ornamen khas Jepang.
Selain itu, Fiki juga menggambar tokoh pewayangan Jawa, Gareng, pada tahun 2023.
Tato tersebut menggambarkan seorang tokoh yang humoris dan memiliki filosofi mendatangkan rezeki.
Dia juga memiliki gambar harimau yang melambangkan keberanian dan kesendirian, serta gambar wajah serigala di jari tangannya.
Baca juga: Rasa Cinta pada Seni Tato Mengalahkan Stigma Negatif
“Kalau istilahnya orang Jawa, tatag dewe yang artinya berani bergerak sendiri atau teguh,” ujarnya.
Tak hanya menciptakan tato untuk dirinya sendiri, Fiki juga memiliki tato yang merupakan hadiah dari seorang temannya yang juga seorang seniman tato.
Tato tersebut terletak di paha kirinya, menggambarkan motif batik Gajah Oling, yang merupakan batik khas Bumi Blambangan.
“Di kaki sebab sejauh apapun saya melangkah, saya punya identitas bahwa saya adalah orang Banyuwangi,” kata Fiki dengan bangga.
Sebelumnya, pria yang pernah bekerja sebagai pekerja migran di Malaysia selama 10 tahun ini, kini terinspirasi dari seniman tato Ata Ink asal Indonesia dan seniman Amerika Bob Ross.
Fiki meyakini bahwa seorang seniman tato harus terus belajar dan tidak boleh puas dengan kemampuan yang dimiliki.
“Tukang tato jangan sampai puas belajar. Kalau puas belajar itu penyakit, tidak bagus,” ujarnya.
Baca juga: Dodot, Seniman Tato yang Jalani Hobi dan Bisnis di Tengah Persepsi Buruk
Untuk meningkatkan kemampuannya, Fiki banyak belajar secara otodidak melalui platform YouTube mengenai teknik garis, shading, hingga gradasi, agar hasil karyanya dapat terlihat hidup dan menarik perhatian.
Dia juga aktif berbagi pengetahuan dengan sesama seniman tato di kota-kota besar seperti Surabaya dan Malang.
Dengan semangat dan dedikasi, Fiki Susanto berusaha mengubah stigma negatif terhadap tato dan mengangkatnya sebagai bentuk seni yang layak dihargai.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang