SURABAYA, KOMPAS.com - Juhari (74), seorang pedagang mainan, tersenyum semringah menawarkan dagangannya di sekolah dasar swasta di Kota Surabaya, Kamis (23/1/2025).
Sudah sekitar 33 tahun dia bertahan sebagai penjual mainan. Berkat kegigihannya, dia mampu mengantarkan kedua anaknya menjadi sarjana dan menjadi seorang perawat.
Pria asal Madiun itu mengatakan, mulanya dia tidak menyangka bahwa dengan pendapatan kotor Rp 500.000 per hari, dirinya mampu menguliahkan kedua anaknya.
Bahkan, salah satunya berhasil menjadi perawat di salah satu rumah sakit swasta di Surabaya.
"Saya mikirnya gini, apa pun yang terjadi pokoknya anakku harus bisa sekolah setinggi-tingginya. Saya hidup merantau ke Surabaya kerja sehari-hari, dapat rezeki, pasti nanti kembalinya juga untuk anak," kata Juhari ketika ditemui, Kamis (23/1/2025).
Baca juga: Viral Gambar Mirip Ivan Sugianto Keluar Tahanan, Kejari Surabaya Sebut Hoaks
Juhari juga tidak memperbolehkan anak-anaknya membantunya. Dia ingin agar anaknya fokus pada studinya.
"Saya selalu tegaskan ke anak-anak, kalau kamu mau sekolah ya sekolah saja. Kalau mau langsung nikah, ya nikah saja," tuturnya.
Sebelum menjadi penjual mainan, berbagai macam pekerjaan sudah pernah dicoba. Mulai dari buruh, kuli angkut, hingga tukang becak. Akhirnya dia bertahan sebagai penjual mainan karena menurutnya memiliki risiko paling kecil.
"Mudahnya kalau ada mainan baru yang musiman biasanya laku banget, tapi kalau enggak ada barang musiman itu yang agak susah," ungkapnya.
Baca juga: Program Tidur Siang Siswa di SMPN 39 Surabaya, Kadispendik Bersuara
Meskipun begitu, Juhari sempat terpaksa berhenti berjualan saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
Akibat pandemi, penjualan Juhari menurun drastis. Apalagi saat awal pandemi Covid-19 pergerakan masyarakat dibatasi dan siswa-siswa tak bisa belajar di sekolah masing-masing.
Hal ini langsung berdampak ke pendapatan Juhari tiap harinya. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.
"Waktu itu anak saya barusan lulus kuliah, sementara satunya masih SMP. Karena di kampung enggak punya mata pencaharian, jadi apa pun yang saya punya, saya jual," terangnya.
Usai pandemi mereda, Juhari kembali ke Surabaya dan kembali berjualan untuk menata kondisi ekonomi keluarganya dari awal.
"Sempat setelah pandemi, anak saya yang pertama minta untuk lanjut S2, tapi saya larang. Kalau kamu mau S2 enggak apa-apa, tapi pakai uang hasil kerjamu sendiri," katanya.
Hingga kini, Juhari masih tetap berjualan mainan. Ia berkeliling dari sekolah ke sekolah untuk menawarkan mainannya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang