JEMBER, KOMPAS.com – Sejumlah penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) di Universitas Jember merasa dirugikan dengan penerima KIP yang kabarnya viral karena hedon. Alasannya, hal itu mencederai para penerima yang memang layak untuk mendapatkannya.
Belkis Safira Regina Ananta, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember yang menerima beasiswa KIP, mengaku setelah kasus tersebut viral. Banyak netizen yang selalu memojokkan para penerima KIP karena dianggap tak layak menerima.
Dia mengaku merasa sakit hati ketika meliht komentar netizen yang cukup sadis. Sebab, banyak warga miskin yang mendapatkan KIP tersebut.
“Saya baca komentar netizen ikut sakit hati, padahal yang viral itu ulah oknum saja, banyak penerima KIP yang layak,” kata dia kepada Kompas.com saat ditemu di Universitas Jember, Jawa Timur, Kamis (16/5/2024).
Baca juga: Soal Mahasiswa KIP Kuliah Salah Sasaran, Rektor Baru Undip Masih Buka Aduan
Menurut dia, para penerima KIP yang lain merasa risih karena sering menjadi perbincangan mahasiswa lain. Apalagi, ada isu KIP mau dihapus.
Belkis pun bercerita bahwa orangtuanya sudah tidak mengizinkan dirinya untuk kuliah sebab tidak ada biaya. Orangtua memiliki penghasilan yang sedikit karena hanya berjualan kue di pasar.
“Awalnya orangtua saya tidak mengizinkan untuk kuliah karena tidak punya biaya,” jelas dia.
Padahal, keinginan Belkis untuk kuliah sangat besar, akhirnya ia tetap mendaftar melalui jalur SNMPTN.
Saat itu, kata dia, Belkis mendapatkan informasi bahwa ada jalur beasiswa dari pemerintah. Informasi itu didapatkan dari teman saudaranya, yakni beasiswa KIP yang berasal dari jalur aspirasi DPR.
“Setelah saya diterima di Unej, saya tanya-tanya cara daftar KIP hingga lolos,” ucap dia.
Dia mengaku beasiswa KIP itu menanggung biaya kuliah. Selain itu, ia juga mendapatkan uang hidup sebesar Rp 800.000.
“Uang itu sebenarnya hanya cukup untuk biaya hidup saja, tidak bisa untuk hedon (foya-foya),” ucap dia.
Belkis merinci, dari Rp 800.000 itu, sebesar Rp 300.000 digunakan untuk uang bensin, 500.000 digunakan untuk iuran kegiatan kampus, membeli buku hingga makanan.
“Itu semua untuk biaya hidup, saya juga tidak pernah dikasih uang sama orangtua sejak dapat KIP ini,” tambah dia.
Seiring dengan viralnya kasus itu, mahasiswi semester IV itu merasa takut KIP dihapus karena akan berpengaruh pada kelanjutan kuliahnya.
Leony Rahma Afifah, mahasiswi Fakultas Pertanian yang juga penerima KIP, merasakan hal yang sama. Ia merasa khawatir KIP dihapus, padahal kondisi ekonominya juga di bawah rata-rata.
“Saya sejak kelas 2 SD sudah ditinggal bapak, hanya tinggal dengan ibu,” ucap dia.
Bahkan, sang ibunya bekerja serabutan, seperti antar jemput anak sekolah, jasa pijet untuk perempuan dan lainnya.
Leony sendiri memiliki keinginan kuat untuk kuliah sehingga memaksakan diri daftar melalui SNMPTN. Saat itu, Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar Rp 2,5 juta.
“Ketika tahu UKT itu, saya nangis karena takut enggak bisa bayar, bahkan sudah ingin enggak kuliah,” papar dia.
Namun, pendaftaran beasiswa KIP yang ia lakukan diterima sehingga bisa terus melanjutkan kuliah. Uang biaya hidup sebesar Rp 800.000 hanya cukup untuk kebutuhan dirinya.
Bahkan, untuk menambah penghasilan, Leony juga bekerja dengan memberikan les privat.
“Uang bensin saya saja sebulan Rp 350.000, belum biaya makan, beli buku, ikut seminar, iuran kegiatan kampus dan lainnya,” papar dia.
Ia menilai uang KIP itu tidak bisa digunakan hedon. Untuk itu, mahasiswi angkatan tahun 2022 itu menyayangkan tindakan oknum penerima KIP yang foya-foya.
“Tindakan itu sangat mengecewakan dan disayangkan,” ucap dia.
Baca juga: Rektor Undip Minta Mahasiswa yang Sudah Mampu untuk Mundur Jadi Penerima KIP Kuliah
Sementara itu, Humas Universitas Jember Rokhmad Hidayanto menjelaskan, jumlah penerima KIP di kampus tersebut sebanyak 6.759 orang pada tahun 2023.
Menurut dia, ada beberapa prioritas penerima KIP. Pertama, pemegang kartu KIP SMA sederajat. Kedua, mereka yang terdata di DTKS. Ketiga, anak-anak dari panti asuhan. Keempat, dari keluarga miskin yang punya surat keterangan tidak mampu dengan penghasilan kurang dari Rp 4 juta.
“Kalau dalam perjalanan ada yang sudah mampu, nanti yang bersangkutan kami ajak diskusi untuk penyesuaian,” pungkas dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang