Mereka adalah Bapak dan Ibu Cokro, anak-anaknya, yaitu Harsono, Anwar, Utari yang masing-masing berusia 12 tahun, 10 tahun dan 5 tahun lebih muda dari aku, serta seorang bayi.
Pak Cokro semata-mata bekerja sebagai Ketua Sarekat Islam dan penghasilannya tidak banyak. Dia tinggal di kampung yang padat, tidak jauh dari sebuah sungai kecil. Keluar dari jalan yang sejajar dengan sungai itu ada sebuah gang terlalu sempit untuk jalan mobil dengan deretan rumah di kiri-kanannya. Orang menyebutnya Peneleh Gang 7. Tidak jauh dari mulut gang, berdirilah sebuah rumah jelek dengan paviliun yang nyaris berdempetan.
Rumah itu dibagi menjadi sepuluh kamar-kamar kecil. termasuk yang di loteng. Keluarga Pak Cokro tinggal di depan, kami anak-anak kos di belakang. Saat Soekarno datang, Cokroaminto berusia 33 tahun.
Mneurut soekarno, kamar kosnya tak memiliki jendela dan tidak berdaun pintu. Karena gelap, ia harus menyalakan pelita di saat siang hari.
Di kamar itu hanya ada meja reyot tempat menyimpan buku, kursi kayu, sangkutan baju dan sehelai tikar pandan. Soekarno muda membaca buku hanya dengan cahaya dari pelita.
Dengan uang makan, Soekarno membayar kamar kosnya sebesarr 11 rupiah. Ia sekolah di HBS yang terletak satu kilometer dari Gang Peneleh. Semua murid, kecuali Soekarno, memiliki sepeda. Namun ia kerap dibonceng oleh teman-temannya.
Selama di Surabaya, Seoekarno menulis untuk surat kabar Pak Cokro, Oetoesan Hindia dengan menggunakan nama samaran Bima.
Ia menggunakan nama samaran karena masih sekolah. Hampir 500 artikel yang ditulis Soekarno muda dan seluruh Indoensia membicarakannya. Namun tak banyak yang tahu sosok Bima sebagai penulis adalah Soekarno yang menempuh pendidikan di Surabaya.
Salah satu tempat sejarah di Peneleh adalah kompleks pemakaman tua.
Warga Surabaya biasa menyebut pemakaman seluas 6,4 hektar tersebut dengan sebutan Makam Peneleh sementara dalam bahasa Belanda disebut De Begraafplaats Soerabaia.
Makam Peneleh berlokasi tidak jauh dari Kampung Pahlawan Peneleh, tempat Presiden Soekarno dilahirkan serta tempat tinggal pahlawan nasional Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Kompleks makam yang sudah tidak terpakai tersebut kini menjadi tujuan wisata heritage.
Lokasi tersebut juga kerap menjadi obyek menarik bagi komunitas fotografi karena berlatar belakang makam khas Eropa.
Pegiat sejarah Kuncarsono Prasetyo mengatakan, ada 3.500 lebih jasad yang dikuburkan di komplek makam yang dibangun pada 1814 itu.
Baca juga: Mengenal Cindy Adams, Penulis Buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat
Beberapa di antaranya Residen Surabaya Daniel Francois Willem Pietermaat (1790–1848), Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Merkus (1787–1844), Wakil Direktur Mahkamah Agung Hindia Belanda Pierre Jean Baptiste de Perez, hingga seorang penerjemah dan ahli bahasa terkemuka saat itu Van Der Tuuk.