Salin Artikel

Berkunjung ke Kampung Peneleh Surabaya Tempat Kelahiran Presiden Soekarno

"Karena merasa tidak disenangi di Bali, Bapak kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk pindah ke Jawa. Bapak dipindah ke Surabaya dan di sanalah aku dilahirkan," kata Bung Karno.

Di buku itu Bung Karno bercerita jika hari lahirnya ditandai oleh angka serba enam dan lahir di bawah bintang Gemini, lambang anak kembar.

Saat ia lahir, Gunung Kelud yang tak jauh dari tempat tinggal keluarga Soekarno meletus dan menurtnya kelahirannya serba menyedihkan.

Karena terlalu miskin, sang ayah Raden Sukemi Sosrodiharjo tak mampu untuk memanggil dukun beranak. Kelahiran Soekarno hanya dibantu oleh lelaki tua yang disebut Soekarno sebagai sahabat keluarga.

"Satu-satunya orang yang mengurus Ibu adalah sahabat keluarga kami, seorang laki-laki yang sudah sangat, sangat tua. Adalah dia, dan tak ada orang yang lain, yang menyambut kehadiranku di dunia," cerita Bung Karno.

Soekarno dan keluarganya tinggal di Surabaya dengan ibu dan ayahnya serta kakak perempuannya, Sukarmini yang usianya dua tahun lebih tua.

Dengan gaji Rp 25 dan dipotong Rp 10 untuk sewa rumah, sang ayah harus menghidupi empat orang.

Gaji bapak 25 rupiah sebulan. Dikurangi sewa rumah kami di jalan Pahlawan 88, neraca menjadi 15 rupiah dan dengan kuras satu dollar waktu itu mencapai 45 rupiah, Anda dapat mmebayangkan betapa bersajahanya rumah tangga kami.

Mereka pun pindah dari Surabaya ke Mojokerto saat Soekarno berusia 6 tahun.

Kini warga menamakan kampung di Peneleh itu sebagai ”Kampung Bung Karno”. Selain itu Kampung Peneleh juga telah diresmikan manjadi cagar budaya yang menjadi lokasi wisata sejarah.

Selain menjadi tempat lahir Soekarno, Kampung Peneleh lekat dengan sosok Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang tinggal di kawasan tersebut.

"Kawasan Peneleh ini bukan kampung biasa. Di sinilah cikal bakalnya pergerakan dan perjuangan Bangsa Indonesia. Bung Karno besar di sini, HOS Tjokroaminoto tinggal di sini, nuansa sejarah kenegaraannya sangat kental. Jadi bukan hanya Tunjungan Romansa saja, Peneleh lebih kental jejak sejarahnya," kata Jupri, warga setempat, Senin (21/2/2022).

Soekarno menyebut Surabaya adalah dapur nasionalisme. Ia tinggal bersama keluarga Cokroaminoto yang terdiri dari enam orang.

Mereka adalah Bapak dan Ibu Cokro, anak-anaknya, yaitu Harsono, Anwar, Utari yang masing-masing berusia 12 tahun, 10 tahun dan 5 tahun lebih muda dari aku, serta seorang bayi.

Pak Cokro semata-mata bekerja sebagai Ketua Sarekat Islam dan penghasilannya tidak banyak. Dia tinggal di kampung yang padat, tidak jauh dari sebuah sungai kecil. Keluar dari jalan yang sejajar dengan sungai itu ada sebuah gang terlalu sempit untuk jalan mobil dengan deretan rumah di kiri-kanannya. Orang menyebutnya Peneleh Gang 7. Tidak jauh dari mulut gang, berdirilah sebuah rumah jelek dengan paviliun yang nyaris berdempetan.

Rumah itu dibagi menjadi sepuluh kamar-kamar kecil. termasuk yang di loteng. Keluarga Pak Cokro tinggal di depan, kami anak-anak kos di belakang. Saat Soekarno datang, Cokroaminto berusia 33 tahun.

Mneurut soekarno, kamar kosnya tak memiliki jendela dan tidak berdaun pintu. Karena gelap, ia harus menyalakan pelita di saat siang hari.

Di kamar itu hanya ada meja reyot tempat menyimpan buku, kursi kayu, sangkutan baju dan sehelai tikar pandan. Soekarno muda membaca buku hanya dengan cahaya dari pelita.

Dengan uang makan, Soekarno membayar kamar kosnya sebesarr 11 rupiah. Ia sekolah di HBS yang terletak satu kilometer dari Gang Peneleh. Semua murid, kecuali Soekarno, memiliki sepeda. Namun ia kerap dibonceng oleh teman-temannya.

Selama di Surabaya, Seoekarno menulis untuk surat kabar Pak Cokro, Oetoesan Hindia dengan menggunakan nama samaran Bima.

Ia menggunakan nama samaran karena masih sekolah. Hampir 500 artikel yang ditulis Soekarno muda dan seluruh Indoensia membicarakannya. Namun tak banyak yang tahu sosok Bima sebagai penulis adalah Soekarno yang menempuh pendidikan di Surabaya.

Warga Surabaya biasa menyebut pemakaman seluas 6,4 hektar tersebut dengan sebutan Makam Peneleh sementara dalam bahasa Belanda disebut De Begraafplaats Soerabaia.

Makam Peneleh berlokasi tidak jauh dari Kampung Pahlawan Peneleh, tempat Presiden Soekarno dilahirkan serta tempat tinggal pahlawan nasional Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

Kompleks makam yang sudah tidak terpakai tersebut kini menjadi tujuan wisata heritage.

Lokasi tersebut juga kerap menjadi obyek menarik bagi komunitas fotografi karena berlatar belakang makam khas Eropa.

Pegiat sejarah Kuncarsono Prasetyo mengatakan, ada 3.500 lebih jasad yang dikuburkan di komplek makam yang dibangun pada 1814 itu.

Beberapa di antaranya Residen Surabaya Daniel Francois Willem Pietermaat (1790–1848), Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Merkus (1787–1844), Wakil Direktur Mahkamah Agung Hindia Belanda Pierre Jean Baptiste de Perez, hingga seorang penerjemah dan ahli bahasa terkemuka saat itu Van Der Tuuk.

Tulisan di beberapa makam dengan bahasa Belanda masih jelas menyebut informasi siapa yang dimakamkan dan kapan jenazah lahir dan dimakamkan.

Menurut Kuncar, Makam Peneleh tidak hanya untuk petinggi Hindia Belanda. Beberapa juga ada jasad warga Jerman, Inggris, Jepang, Asia dan lainnya.

"Satu makam rata-rata dipakai untuk lebih dari dua jasad, tidak seperti sekarang yang ditutup permanen setelah dipakai menguburkan satu orang," kata dia.

Makam Peneleh menurutnya merupakan pemakaman modern di eranya dengan konsep klaster yang dibagi menurut pangkat, jabatan dan keluarga.

"Ini menandakan tingkat diskriminasi sosial yang tinggi pada zaman kolonial," ujarnya.

Jenazah yang memiliki jabatan dan tingkat sosial yang tinggi menempati makam yang lebih megah dengan ornamen yang lebih mewah.

Berdasarkan literasi yang ada, kata Kuncar, Makam Peneleh ditutup pada 1924 karena sudah penuh.

Pemerintah Hindia Belanda saat itu memindahkan makam ke komplek makam Kembang Kuning di Kelurahan Pakis Kecamatan Sawahan.

Baginya, Makam Peneleh adalah laboratorium sejarah desain dan arsitektur. Bukan hanya model bangunan makamnya yang berbeda tiap zaman, namun juga material pembuatannya, bentuk fontnya, simbol simbolnya, hingga ornamen ragam hiasnya.

"Ada perkawinan desain Belanda - Jawa dari bentuk makam. Ada konstruksi atap seng plus ornamen lisplang berukir tembaga," ucapnya.

Sementara itu pakar sejarah Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Purnawan Basundoro menyebut Makam Peneleh adalah makam khusus untuk pejabat Hindia Belanda saat itu.

"Warga non Belanda tidak boleh dimakamkan di situ," ujarnya.

Saat itu, lokasi Makam Peneleh dipilih karena lokasinya jauh dari pemukiman warga.

"Saat itu pusat pemerintahan ada di sekitar Jembatan Merah, jadi makam Peneleh saat ini dulu lokasinya jauh dari pemukiman," terangnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/08/17/103000378/berkunjung-ke-kampung-peneleh-surabaya-tempat-kelahiran-presiden-soekarno

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke